17. Adagio

2.6K 395 15
                                    

Akhirnya, kami malah bertukar pandangan. Pembukaan cerita mengenai deduksi yang Wijaya lemparkan—yang sempat membuatku tercengang—kini menjadi padanan utama dalam buku panduanku. Beberapa polisi di departemen ini bekerja untuk si lelaki bertopi. Hal yang sama pun ditunjukan dengan betapa dirinya merasa berkuasa atas diriku kala itu, ketika ia melukai Loka dan membuatku mengutuk perbuatannya. Dia tahu aku tak akan bisa menangkapnya karena ia bisa keluar dengan bantuan orang dalam, entah bagaimana caranya. Kini, otakku berputar dua kali—tidak semudah itu.

Sekarang aku mengerti kenapa Wijaya menginginkanku untuk terlihat bekerja sama dengan lelaki bertopi itu, bagaimana orang itu dapat mengawasiku dua puluh empat jam hingga tahu seluruh pergerakanku. Untuk sesaat, aku sedikit merasa ngeri jika seandainya seseorang yang berada di dalam kantor ini—yang bekerja sama dengan lelaki bertopi itu—mengetahui tempat di mana aku menyimpan kunci ruanganku. Namun, untungnya aku masih bisa melihat salinan kasus enam tahun lalu. Tak ada bekas pergeseran, artinya tak ada yang melihatnya. Benda itu masih di sana.

Yang jadi pertanyaanku, jika dia menginginkan berkas itu, kenapa ia tak menggunakan teman polisinya saja? Kenapa harus aku?

Wijaya mengedarkan pandangannya. Ke atas, ke bawah, ke manapun matanya tertuju. Pertanyaan yang sama kulontarkan padanya dan tampaknya Wijaya pun belum memiliki alasan yang pasti. Lidahnya menujulur beberapa saat untuk menjilati bibirnya yang kering, kemudian dia berkata, "Saya pun belum mengerti sampai sana, Pak."

Walaupun jawabannya itu tidak membantu, setidaknya kini pikiranku sedikit lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Walaupun dengan analisis Wijaya, artinya aku harus berhati-hati dengan setiap gerakan. Fandi dan Bagas—yang termasuk ke dalam aparat kepolisian—tak segan untuk membunuh temannya sendiri. Tentu, itu bukan hal yang biasa, melainkan sebuah kebrengsekan yang luar biasa.

"Aku benar-benar ingin menguburnya hidup-hidup," tukasku di sela pembicaraan tanpa adanya pemicu apapun. Namun, melihat wajah Wijaya yang tampak bingung, aku melanjutkan.

"Fandi dan Bagas, bukan lelaki bertopi itu," kataku. "Aku lebih memilih untuk menghajar wajah lelaki bertopi itu terlebih dahulu sebelum menguburnya hidup-hidup."

"Anda terdengar seperti seorang psikopat, Pak."

Aku tertawa kecil. "Tenang, Wijaya, aku hanya berani mengatakannya, tak akan pernah berani melakukannya walaupun sangat ingin melakukannya."

Kemudian, Wijaya meniruku. Napasnya mendengus pelan.

"Saya tahu," katanya.

Terkadang aku merasa geli melihat tingkah orang-orang, betapa dirinya merasa hebat dengan mengaku sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, memamerkan beberapa ilustrasi kartun untuk menunjukan betapa hebat dirinya. Jika kusandingkan, ucapanku itu mirip dengan berbagai status yang mereka unggah di situs media sosial. Untuk orang yang menanggapinya secara serius, pasti aku terdengar menjengkelkan. Aku yang mendengarkannya sendiri saja merasa sebal.

Kuangkat salinan kasus Luthfi enam tahun lalu, mengangkatnya dan melemparnya ke udara selama beberapa detik, mengayunkannya ke depan dan membuat jarak tumpukan kertas yang berada di dalam map itu menjadi lebih dekat dengan Wijaya.

"Apa kau benar-benar berpikir aku harus memberikan ini padanya?"

Untuk sesaat, Wijaya tampak enggan menjawab. Aku dapat mendengar suara hatinya yang berkecamuk antara jawaban 'iya' dan 'tidak'. Tentu, untuk membuat semuanya lancar, seperti yang dulu Wijaya katakan, aku harus bekerja sama dengan lelaki bertopi itu. Namun, kematian Alex mungkin membuatnya berpikir dua kali.

Sekali lagi, Wijaya mengedarkan pandangannya ke mana-mana dengan kepala yang menetap pada posisi stabil. Bola mata hitamnya seolah menyeruduk seluruh penjuru ruangan.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang