Spektrum warna yang ditangkap oleh mataku sebenarnya tidak akan terlihat perbedaannya untuk gelombang yang saling berdekatan. Namun, secara jelas dapat kupastikan bahwa malam ini—setidaknya di ruangan ini—seluruhnya terlihat lebih gelap dari biasanya. Aku tidak pernah tahu apakah cahaya yang tertangkap oleh mataku dipengaruhi oleh suatu perasaan atau tidak. Namun, tanpa perlu berpikiran logis, jawabanku adalah ya—itu benar.
Kuaykunkan sebelah tanganku, bagaikan menepuk lalat dengan satu tangan yang tentu saja tak akan berhasil, menyuruh Loka untuk kembali ke kamarnya dan tak berusaha mencuri dengar percakapan yang kulakukan dengan lelaki bertopi ini. Namun, wajah Loka menunjukan antusias—entah kesal atau ingin balas dendam—yang berbanding terbalik dengan kelakuannya—dia tetap menuruti perintahku.
Jeda bicara sengaja kubuat dalam beberapa detik, memastikan Loka benar-benar telah kembali ke kamarnya agar aku bisa berbicara dengan leluasa. Sebenarnya aku bisa mengambil ruangan yang lain, menutupi diriku dan membuat pengamanan yang dua kali lebih besar untuk memastikan Loka benar-benar tak mendengarkan pembicaraanku, tetapi aku tak ingin mengambil resiko bahwa ternyata dia sudah berada di pintu depan rumahku dan mengambil kesempatan ketika aku lengah.
Sambil berjalan pelan agar langkahku tak terdengar sedikitpun, aku berkata, "Di mana aku harus menemuimu?"
Namun, perhatianku tetap terfokus pada langkah kaki yang rasanya begitu berat. Aku membuka tirai jendela, menampakan pemandangan gelap di luar dengan aspal hitam yang selalu menemani rumahku. Lampu-lampu menghiasi pinggir jalan dengan cahaya yang seadanya. Rumah-rumah lain tampak sepi dan aku tak melihat bayangan aneh yang berusaha mengintip dalam rumahku, apalagi menemukan seseorang tengah berjalan di halaman rumahku.
"Kendarai mobilmu."
"Katakan saja di mana."
"Aku akan memberitahumu ketika kau sudah mulai mengendarai mobilmu."
Kupasang wajah masam. Orang ini benar-benar sialan.
"Kenapa aku harus menuruti perintahmu?"
Namun, bukannya menjelaskan, lelaki itu malah tertawa lepas—setidaknya itu yang dapat kusimpulkan dari balik telepon.
"Aku yang memegang kendali, oke? Turuti saja kalau tidak ingin hal yang aneh terjadi."
Aku menarik napas dalam. Kemudian, baru saja hendak melontarkan satu kalimat, lelaki bertopi ini malah memotong.
"Jangan tutup teleponnya, buat panggilan menjadi loud speaker, jangan berusaha mengontak siapapun. Kau memiliki hal yang kuinginkan dan aku memiliki hal yang kau inginkan."
"Hal yang kuinginkan?"
"Kau benar-benar tolol, ya?" Aku tak dapat melihat wajah lelaki bertopi itu, tapi dari nada bicara yang tak begitu tenang, kurasa ia bersungut marah dan hendak melemparkan kepalan tangannya tepat di wajahku. "Aku pernah bilang jangan pernah menyelidiki kematian Pak Goto. Temanmu itu—Alex—melakukannya, lihat apa yang terjadi, kan?"
"Aku tahu—" Aku hampir mengatakan bahwa dia lah pembunuhnya, atau setidaknya otak dalam kasus ini. Namun, aku belum bisa membuatnya kesal, setidaknya aku harus mengorek sedikit informasi yang bisa kudapatkan sebelum akhirnya ia memutuskan bahwa pembicaraan ini harus diakhiri dan aku tak dapat mengulur waktu untuk tak segera mengambil jaket dan kunci mobil, berkendara entah ke mana.
Jadi, sebagai gantinya, aku berkata, "Berkas itu bisa kau ambil sendiri. Kenapa kau menginginkanku untuk mengambilnya?"
"Kau ingat berkas kasus itu? Korban, apa yang terjadi atau segala hal yang berkaitan dengan kasus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]
Misterio / SuspensoLuka yang diterimanya membuat Roy tak dapat beraktivitas seperti biasanya. Namun, Wijaya--rekan kerjanya--memberitahukan kejanggalan yang terjadi pada sebuah kasus yang diikutinya. Seorang aparat kepolisian ditemukan menjadi mayat. Secarik kertas be...