22. First Blood

2.5K 405 22
                                    

Berkutat dalam divisi pembunuhan tak membuatku terbiasa untuk melihat pembunuhan tepat di depan mata. Biarpun aku dapat berdalih dan menganggap seluruh aksi yang dilakukan oleh lelaki bertopi itu merupakan bentuk pertahanan diri, namun pilihanku untuk membantunya menenggelamkan korban tidak akan membantu melepaskannya dari jeratan hukum—kasus pembunuhan. Lebih buruk lagi, aku terlibat secara langsung, menodai kedua tanganku dengan gelapnya pemikiran ketika kedua bola mata melihat secara langsung proses yang berjalan.

Ketiga mayat itu tenggelam, tersembunyi di balik gelapnya malam dengan gemericik air yang terus berputar di dalam otakku. Pemberat yang diikat pada kaki-kaki mayat telanjang itu seolah sengaja menarik mereka, menyusupi berbagai celah untuk mengintip ngerinya neraka. Di sisi yang lain, seluruh pakaian mereka yang ditanggalkan akan aku—atau lelaki bertopi itu—bakar untuk menghilangkan jejak. Tidak mungkin pada tempat yang dekat, aku harus berkendara lebih jauh lagi. Kini, hanya tinggal menunggu waktu hingga air sungai ini menyurut, menampakkan jejak-jejak mayat yang ditenggelamkan. Walaupun kurasa waktu itu tak akan datang dengan cepat, mengingat sudah berbulan-bulan hujan tak turun dan sungai ini masih mengalir dengan deras. Selain itu, air sungai yang kotor kurasa tak akan membuat orang-orang menyadari bahwa tiga mayat tenggelam—setidaknya dengan mata telanjang itu tak mungkin terjadi.

Kini, kegelisahan menyeruak dari dalam diriku. Di balik kemudi, aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada orang-orang seandainya mereka sadar bahwa pembunuhan itu—yang melibatkanku—diketahui oleh khalayak ramai. Apa yang akan Loka katakan nantinya? Bagaimana dengan tetangga-tetanggaku? Wijaya, juga teman-temanku yang lainnya mungkin tak akan pernah mau menemuiku lagi selamanya untuk alasan apapun. Kalaupun aku berdalih bahwa mereka hendak membunuhku terlebih dahulu, aku yakin tameng besar berupa kalimat, "Tetapi tak perlu sampai membunuh." Akan menghujamku, padahal mereka tak berada di lokasi.

Aku masih berpikir seperti itu sampai si lelaki bertopi itu mengatakan yang sebaliknya—ada benarnya juga. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik sampai-sampai aku naif. Aku hanya menginginkan dunia yang sempurna, tak ada kejahatan yang menerpa di dunia ini hingga kusadari bahwa aku salah. Ketika sahabatku membunuh kedua orang tuanya, aku tak dapat menerima kenyataan itu. Aku berusaha menghindar, menganggapnya sebagai seseorang tanpa kesalahan yang tentu saja keadaannya tak seperti itu walaupun aku tahu dia bukanlah orang jahat. Sampai saat ini, aku berusaha menanggapi seluruh hal dengan baik, berusaha menilai sisi positif segala tindakan negatif yang orang-orang lakukan—walaupun masih sering kukomentari.

Aku tak pernah menyukai para pengendara sepeda motor yang menggunakan trotoar sebagai jalan pintas. Namun, di sisi lain aku berusaha memakluminya, menganggap waktu hidup yang tersisa bagi mereka tidaklah cukup hanya untuk menunggu barisan kendaraan maju—tentu saja aku tetap memakinya dalam hati. Aku tak pernah menyukai orang-orang tolol yang melupakan lampu tanda untuk berbelok, menambahkan peluang kecelakaan untuk timbul, menggunakan ponsel ketika mengemudi, menyebrang jalan raya dan memotong jalur kendaraan yang melaju dengna kencang padahal di sampingnya terdapat jembatan penyebrangan. Demi apapun, aku tidak menyukai seluruh hal itu, tetapi aku tak mau menanggapinya secara berlebih. Mungkin mereka lupa, dan tentu saja itu membuatku hipokrit.

Aku ingin menyapu bersih orang-orang semacam itu, tetapi di sisi lain aku tak ingin terlihat sebagai seorang pahlawan brengsek yang dibenci banyak orang hanya karena memiliki idealisme yang berbeda. Dan puncaknya, aku tak ingin melawan Guntur sampai pada akhirnya lelaki bertopi itu secara paksa mematahkan lehernya. Dan sesaat setelahnya, aku masih memikirkan tentang hidupnya, keluarganya, lupa bahwa dia adalah orang yang mengancam akan membunuhku.

Lelaki bertopi itu bilang bahwa aku bukanlah malaikat. Aku manusia, bisa mati. Aku memiliki sisi baik dan jahat. Pada awalnya, kupikir dia hanya ingin meracuni pikiranku, membuatku terpaksa memilih untuk membantunya menenggelamkan ketiga mayat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, aku tahu bahwa semua ini telah berjalan terlalu jauh.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang