8. Night of the Hunter

3.2K 438 19
                                    

"Kau pernah bekerja bersamanya?"

"Hanya beberapa kali."

Di bawah rembulan temaram, langit gelap tak dihiasi apapun. Entah sejak kapan, baru kusadari bahwa selama ini aku tak pernah melihat bintang berkelip di atas langit yang menjulang. Apakah karena cahaya lampu di perkotaan sehingga intensitas cahaya bintang ketika sampai di bumi melebur dengannya? Aku tidak tahu.

Aku dapat mendengar Wijaya yang bernapas—menderu. Di balik ponselnya, aku yakin hidungnya terlalu dekat dengan gawai itu. Namun, atmosfer hatiku sedang tak dapat diajak bercanda. Aku tak terusik sama sekali, bahkan aku tak memikirkannya sedikitpun.

"Beliau lebih suka bekerja sendiri," lanjut Wijaya dengan suara yang lebih melengking dari biasanya karena sinyal yang tidak stabil. "Tak lama setelahnya saya bergabung dengan divisi pembunuhan, Pak."

Kutarik leherku, meregangkan otot-ototnya supaya tak begitu pegal, membuatku menatap penghalang sinar matahari yang tak terpakai.

Aku baru ingat, sebelumnya Wijaya pun tergabung ke dalam divisi lalu lintas. Sekarang, aku mengerti kenapa ia begitu peduli pada orang itu. Secara tak langsung, Wijaya membuat ikatan yang baik dengan rekan-rekan kerjanya, walaupun menurut pengakuannya Pak Goto lebih suka bekerja sendiri. Aku memahami hal itu—sangat memahami. Wijaya cerdas, tidak selalu merasakan kehendaknya tetapi tetap selalu memberikan penjabaran pikirannya yang pintar melalui susunan kalimat yang terstruktur dan mudah dipahami. Selain itu, kunjungan setiap harinya ke rumahku cukup menunjukkan bahwa Wijaya adalah orang gila yang memperhatikan sekitar, merasa bertanggung jawab akan segala yang terjadi.

"Pak Goto memang tidak sering bekerja sama, Pak, dan tampaknya Pak Goto lebih suka bekerja pasif di balik layar."

"Aku mengerti," balasku. Namun, segera setelahnya, aku berniat mengakhiri pembicaraan ini.

"Sebentar lagi ada yang harus kulakukan. Terima kasih, WIjaya." Aku segera menutup ponsel sambil menghela napas. Baiklah, sekarang saatnya.

Sepatu pantovelku mengetuk keras aspal jalanan meskipun tak menimbulkan suara. Kembali kususri gang ini, tetapi dengan suasana yang berbeda. Cahaya lampu dari masing-masing rumah menghiasi sisi jalan, tetapi aku tak mendapati kesan yang lebih baik. Temaram dan gelap, hal itu tetap tak menghilang. Rasa dingin menusuk tulangku. Di balik jaket hitamku, kaos putih yang kukenakan tampaknya tak berhasil menghalau rasa dingin yang ada.

Burung-burung liar yang bertengger pada kabel menyemarakkan kedatanganku, seolah memberikan informasi pada atasannya bahwa orang asing telah datang, siap menghancurkan kehidupannya. Selain itu, beberapa tikus tampak berlarian menjauhiku. Gang ini tak lebih seperti kebun binatang luas dengan binatang-binatang tak lazim yang sengaja dilepaskan. Lebih ramai dari siang hari tetapi dalam konteks yang tak baik. Jika kubandingkan dengan perumahanku, tempat ini seperti tempat orang-orang mati. Sejauh perjalanan tak kutemui seorang pun manusia yang lewat, berpapasan denganku. Aku tak tahu apakah ini karena efek pembunuhan yang terjadi belum lama ini sehingga orang-orang takut keluar, atau memang pengakuan 'gang sepi' yang diberikan oleh Wijaya benar adanya.

Seluruh rute perjalanan yang kulakukan sama seratus persen seperti yang kulakukan sebelumnya di siang hari. Aku tak berniat untuk tersasar, sehingga aku memilih untuk menghindari resiko itu dengan tak mencari rute baru, rute yang lebih pendek atau malah semakin panjang.

Kini, tepat di depan rumah Pak Goto, sandal-sandal yang sebelumnya kutemukan siang tadi telah menghilang. Di hadapanku, pintu berwarna cokelat yang dihiasi oleh pahatan unik diterangi cahaya neon putih yang menyembul dari atap. Aku mengetuk pintu, beberapa kali hingga akhirnya wanita yang tadi menyambutku, kembali menyambutku.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang