14. Suicide Mission

3K 404 33
                                    

Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan, tetapi hanya yang pemberani yang akan mengakuinya.

Kalimat sederhana yang hampir saja kulupakan. Umurnya telah lama, tetapi sepotong lirik lagu itu kini terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Biarpun kala itu umurku sudah tak pantas untuk disebut sebagai anak-anak, tetapi kurasa perkembangan mentalku berjalan tak sesuai. Sebuah tontonan yang seharusnya disajikan untuk bocah berumur sepuluh tahun tetap tak lepas dari mataku yang kala itu berumur dua puluhan. Namun, aku tetap bersyukur karenanya. Jika tidak? Mungkin niatku untuk menggenggam ponsel, mencari kontak Wijaya dan berusaha menghubunginya tak akan pernah terjadi.

Mungkin aku akan terdengar egois—mungkin juga memang begiu—tetapi aku tetap tak dapat memikirkan jalan terbaik yang lain selain menghubungi rekan kerjaku itu. Tentu, perasaanku tidak dapat menerimanya begitu saja. Sebaliknya, semua bercampur aduk. Ada perasaan takut, bagaimana jika Wijaya tak menerima panggilanku? Selain itu, jika dia mengangkatnya, bagaimana caraku memulai pembicaraan?

Dering kedua, jempolku hampir saja mengetuk tombol merah yang berkilauan di depan mataku. Namun, tepat di saat yang bersamaan, Potongan angka muncul secara tiba-tiba, menandakan waktu yang berjalan dimulai dari detik nol. Panggilanku diangkat.

Sesegera mungkin kutempelkan layar ponsel pada kupingku. Aku tak bergerak dengan cepat sehingga tak dapat mendengar kalimat Wijaya, tetapi aku yakin ucapannya tak lebih dari sekadar sapaan sebagaimana pembicaraan dalam telepon terjadi.

Aku belum bisa berkata apa-apa. Mulutku kaku tak bergerak, lidahku terasa berkelut ketika celanaku mulai merosot akibat ikatan tali pinggang yang mulai kendor. Namun, seolah menghilangkan kesunyian yang terjadi, Wijaya berkata, "Pak Roy?"

Aku pikir dia akan memberikan nada ketus. Namun, demi apapun, suara Wijaya terdengar seperti biasanya. Tenang tanpa adanya interferensi dari emosinya yang mungkin telah stabil. Maksudku, aku yang meneleponnya lebih dulu dan dia menerimanya seolah tak terjadi apa-apa.

"Aku minta maaf akan apa yang terjadi siang tadi." Napasku berderu tak beraturan. Aku merasa bersalah, itulah yang terjadi. Mataku tak dapat fokus, seolah-olah sebuah tikaman menusuk retinaku dalam-dalam. Kucoba medendangkan lagu, menghalau berbagai racauan yang menjerit-jerit di dalam otakku.

Sekali lagi, Wijaya membalas dengan tenangnya.

"Saya mengerti," katanya. Tak ada apapun lagi. Hanya itu.

"Aku tidak ingin terdengar menjadi orang palling brengsek di muka bumi ini, berkelahi denganmu kemudian dengan mudahnya meminta maaf padamu seolah-olah meminta maaf adalah pekerjaan termudah dan membuatku tampak tak melakukannya dengan tulus." Sekelebat bayangan muncul dalam pikiranku. Bagaimana melalui dunia maya—biasanya—orang-orang dapat meminta maaf dengan mudah tanpa dapat kita ketahui apakah orang itu melakukannya atas kesadarannya atau karena ia tak ingin kehidupan dunia mayanya terganggu sehingga ia tak dapat menikmati dunia itu, apalagi untuk orang-orang yang tak terbiasa berinteraksi di dunia nyata.

Namun, begitu kembali mengingat motivasiku untuk menelepon Wijaya, sekali lagi perasaan bersalahku muncul. Aku tak benar-benar meneleponnya hanya untuk meminta maaf. Ada hal lain yang—anggap saja—ingin kudiskusikan dengan Wijaya. Aku benar-benar tak memiliki pilihan lain.

"Pak," Wijaya bergumam, hampir tertelan oleh suara berisik akibat sinyal yang melemah. Namun, akhirnya ia melanjutkan, "Saya mengerti kala itu Anda sedang dalam keadaan yang tak baik. Saya tak pernah menganggap hal itu sebagai dendam pribadi."

Aku tersenyum.

"Terima kasih," balasku secara segera. Dan di seberang sana, aku dapat mendengarnya cekikikan. Setidaknya, aku sedikit merasa lega karena Wijaya yang kukenal masih seperti yang kukenal.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang