2. Nice to Meet Me

5.6K 574 54
                                    

Sejujurnya, mendapatkan barang bukti dalam bentuk fisik akan sangat membantu. Walaupun foto yang Wijaya ambil ini cukup memberikan seluruh gambaran mengenai secarik kertas dengan bekas lipatan yang rapi—enam buah—tetapi aku tetap berharap dapat menyentuh fisik benda ini. Namun, seperti yang Wijaya katakan, ia tak menyelidiki kasusnya. Barang itu pasti sedang tersimpan dengan rapi seperti benda suci yang tak boleh disentuh oleh siapapun—dikarantina.

Guritan pensil itu berdiri seolah-olah menjadi pagar, menahan serangan serigala buas yang hendak menyerang sang penulis. Torus-torus kecil dibuat serapi mungkin, biarpun masih terdapat beberapa bagian yang tidak menunjukan hal itu—menyembul keluar atau melebihi garis baris. Walaupun memang kelihatannya sama, tetapi aku sungguh yakin jika jumlah torus yang ditorehkan oleh sang penulis tidaklah sama, kecuali untuk kertas yang kedua.

Kertas yang kedua memiliki jumlah torus yang lebih sedikit—walaupun tetap saja banyak—mungkin dua puluh kurangnya dari dua kertas yang lain. Tentu, itu artinya hanya ada satu cara bagiku untuk mengetahuinya.

"Kau sudah menghitung jumlahnya?" tanyaku pada Wijaya sambil meluruskan kakiku. Sedangkan Wijaya dengan sigap menjawab.

"Tiga ratus empat belas."

"Perbagiannya?"

"Seratus—err...," Wijaya bergumam. Kemudian, dia segera menarik kembali ponselnya setelah memberikan isyarat padaku untuk segera mengembalikannya. Dia tidak menghapalnya, tetapi aku tidak menyalahkannya. Lagipula, untuk apa menghapalkan jumlah bilangan yang belum diketahui kegunaannya sama sekali?

Dengan geseran jarinya, akhirnya Wijaya mendapatkan ilham untuk menjawab pertanyaanku. "Seratus sebelas, delapan puluh dua, seratus dua puluh satu."

Aku menelisik, menggantungkan lenganku, membiarkan telapak tangannya kembali ke atas, meminta ponsel Wijaya untuk kembali. Lalu, segera setelah ia mengembalikannya, kembali kuperhatikan galeri yang sebelumnya kulihat. Walaupun dalam sekilas aku dapat melihat foto yang lainnya, yang sedikit menarik perhatianku, tetapi dengan cepat ibu jari kugeserkan, seolah berusaha menimbulkan percikan api antara ibu jari dan layar ponsel ini.

"Kau tidak salah hitung, kan?" Aku bertanya sekali lagi, sekadar memastikan, tetapi nada bicaraku terdengar seperti orang yang tidak yakin, seolah-olah Wijaya adalah orang yang paling tak dapat kupercaya di dunia ini. Namun, ia tampaknya mengerti bahwa aku tidak bermaksud seperti itu.

"Saya menghitungnya beberapa kali, Pak. Saya rasa tidak."

Tegukan ludahku tampaknya terdengar hingga keluar ruangan. Kerongkonganku yang sedari tadi kering membuatku sedikit malu, tetapi aku berusaha untuk menutupinya.

"Seperti biasa, kau sangat rajin," pujiku. Tentu, aku sudah tahu akan hal itu, karenanya aku bertanya, tidak berinisiatif untuk mengambil kertas dan pensil, mengikuti goresan-goresan pensil ini dan berusaha membuat replika dari barang bukti yang ada. Aku sangat tahu Wijaya telah melakukannya.

"Apakah Anda mengetahui sesuatu mengenai goresan-goresan pensil di kertas itu, Pak?"

Aku menggeleng. "Belum," balasku. "Tetapi aku yakin ia sengaja memecahnya menjadi tiga bagian. Jika ia memang ingin membuat kita menghitung jumlah keseluruhannya, seharusnya ia tak menyisakan setengah bagian dari masing-masing kertas."

Kukembalikan ponsel Wijaya, menyodorkannya melalui atas meja, membiarkan benda itu menyebrangi lautan kaca.

"Kapan kasus itu ditutup?" tanyaku selanjutnya.

"Mungkin tiga atau dua hari yang lalu."

"Mereka tidak mengetahui tentang kertas itu?"

"Tentu saja tahu, Pak." Wijaya memicingkan matanya, mempertanyakan pertanyaanku. Tentu saja, itu adalah hal bodoh yang dapat kutanyakan, tetapi sama seperti riwayat pencarianku, kan? Hal-hal bodoh seperti itulah yang biasanya dianggap terlalu bodoh sehingga dilewatkan banyak orang. "Tapi lebih mudah untuk mengasumsikan bahwa kertas ini milik Pak Goto, sebuah catatan, entah catatan apa."

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang