20. Do I Wanna Know?

2.3K 389 21
                                    

Kegelisahanku semakin menyeruak. Jemari kakiku terasa tak dapat bergerak secara leluasa di balik sandal jepit berwarna biru dengan logo putih yang menghiasi beberapa bagian sisinya. Keringat dingin semakin menjalar melalui keningku ketika beberapa persimpangan lampu merah kulalui.

Malam ini masih ramai, dan aku merasa sedang sendirian—orang-orang tak tahu masalahku dan mereka tak akan peduli. Aku dapat melihat senyum di balik wajah mereka karena kebahagiaan—entah karena apa—yang mungkin sedang dijalani—berbanding terbalik denganku.

Waktu pada ponsel Wijaya masih bergerak. Beberapa kali kugeserkan jempolku di atas layarnya hanya untuk memastikan hal itu, seolah-olah mencoba menghitung waktu yang tepat kapan bom akan meledak—hanya saja waktunya bergerak maju. Sampai kemudian notifikasi baterai lemah muncul dan membuatnya bergetar menimbulkan kebisingan. Ponsel itu bergetar dalam beberapa detik dengan lampu latar yang semakin meredup—lima belas persen lagi.

Tentu, sontak aku kaget dan hampir melompat dari tempat dudukku kemudian kubanting setir ini. Tapi, pada akhirnya aku masih bisa mengontrol tubuhku biarpun lelaki bertopi itu bertanya, "Apa itu?"

Sambungan telepon memang tidak diputuskan, mungkin dia benar-benar takut jika aku menghubungi seseorang—yang sebenarnya telah kulakukan. Tapi, daripada menimbulkan kecurigaan akan getaran itu, aku segera memberitahu si lelaki bertopi bahwa secara tak sengaja jariku mengetuk dashboard karena gugup. Aku tidak yakin jika seandainya baterai ponselku melemah apakah sepatutnya lelaki bertopi itu mendengarnya atau tidak, dan aku tidak ingin mengambil resiko dia sadar bahwa aku sedang membawa dua ponsel.

Perjalanan ke tempat tujuan harusnya tak memakan waktu hingga setengah jam, dan lelaki bertopi itu sudah memperhitungkannya matang-matang. Dia memberikan tenggang waktu dengan estimasi yang terlalu sempit, membuatku tak dapat bergerak ke mana-mana dan terpaku pada tempat tujuan. Kemudian, di saat yang bersamaan aku menginjak pedal gas dengan kencang sebagai upaya mengefektifkan waktu, setidaknya membuatku mendapatkan waktu tambahan untuk berpikir lebih lama.

Berdasarkan asumsiku, lelaki bertopi itu berpikir aku memiliki berkasnya, dalam arti benar-benar membawa berkas itu ke rumah kemudian mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya. Padahal, aku tidak benar-benar membawa berkas itu—berkas yang kusimpan di kantor. Sekarang, aku tak dapat mengatakan apa-apa karena aku tak tahu apa yang akan dia lakukan pada Wijaya seandainya dia mengetahuinya. Dalam benakku, lelaki bertopi itu bisa saja melubangi dada Wijaya sebanyak tiga buah hanya karena aku mengatakannya. Tentu saja, siapa sih penjahat yang menyukai polisi bergerak ke kantor polisi? Dia pasti berpikir aku berbohong—minimal memanfaatkan kesempatan yang memang akan kulakukan.

Persimpangan terakhir telah kulalui. Ramainya Bandung Indah Plaza yang kulewati beberapa detik lalu tampaknya tak membuat hatiku lebih baik. Terangnya balai kota tak membuat pandanganku menjadi segar dan kembali membuatku senang. Kemudian, beberapa saat setelahnya, aku dapat melihat kantorku yang bahkan tak bisa kusinggahi untuk sekarang ini. Aku terus melaju melewati pintu perlintasan rel kereta api dan segera memarkirkan kendaraanku beberapa meter setelahnya. Untuk sesaat, aku benar-benar merasa tempat ini kekurangan penerangan—gelap sekali.

"Aku sudah sampai," kataku, tetapi tak semata-mata memberitahu lelaki bertopi itu, namun juga pada Guntur. Panggilannya belum terputus, tetapi aku tak dapat membawa ponsel Loka lebih jauh. Jadi, aku menyimpannya di dalam dashboard mobil setelah mematikannya. Sedangkan untuk ponselku yang asli, aku tetap membawanya ketika mendengar lelaki bertopi itu berkata, "Oke."

Aku keluar, melalui jalanan kecil seperti yang diberitahukan oleh lelaki bertopi itu. Dalam jarak yang cukup jauh, aku melihat sekelebat bayangan menyerupai manusia, hitam dan tak begitu jelas di hadapanku. Begitu langkah kakiku mulai menyentuh angka tiga puluh, wujud dari bayangan itu semakin jelas. Seorang pria dengan pakaian serba hitam yang membuatnya sulit untuk dilihat. Untuk sesaat aku berpikir bahwa orang itu akan berdiri, bersandar pada tembok yang menyangga tanah tempat ditidurkannya rel kereta api dengan mobil berwarna hitam—yang senada dengan pakaiannya—terparkir entah di mana, membawa Wijaya yang lengannya tengah terikat dengan mulutnya yang disumpal kain. Namun, seluruh keadaan berbeda dengan bayanganku. Dia hanya berdiri di sana, seorang diri, tak membawa apapun selain tubuhnya itu. Senjata api pun mungkin tak ada jika penglihatanku tak salah menerka—aku tak melihat benda kecil terselip pada pinggangnya.

Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang