Aku hampir terpelanting, hendak jatuh ketika menerobos kerumunan orang-orang yang penasaran. Garis polisi berwarna kuning melintang di depan sebuah rumah sederhana dengan warna dominan putih. Beberapa tanaman yang tampak menghiasinya terlihat merunduk, merenung, bersembunyi di balik kerumunan orang-orang.
Berkali-kali aku berteriak, menyuruh orang-orang memberikanku jalan. Aku sedang memakai seragam, aku tak perlu mengeluarkan lencana, tetapi orang-orang brengsek ini tampaknya tak peduli. Aku menyikut dengan kasar, membuat orang-orang di antaraku mengeluh dan tampaknya hendak menghajarku karena tindakan yang arogan, tetapi untuk saat ini aku tak akan menanggapinya dengan serius. Dalam otakku hanya timbul satu adegan yang tak dapat kulepaskan dengan segera: Alex bunuh diri.
Wijaya tak memberikan detailnya, atau mungkin lebih tepatnya tak kubiarkan Wijaya untuk memberitahukan detail kasus itu padaku. Segera setelah ia memberitahuku, aku langsung meminta alamat rumah Alex yang kebetulan terletak tak jauh dari tempatku kala itu—yayasan di mana Luthfi pernah tinggal. Jadi, tanpa berpikir dua kali, aku segera pergi. Lagipula, Wijaya mengaku belum pergi ke lokasi kejadian.
Di ujung ruangan, seorang wanita—kurasa istri Alex—sedang menangis ditemani beberapa orang petugas yang tengah menemaninya. Seorang polisi wanita tampak menepuk-nepuk bahu istri Alex, mencoba menenangkan dan meredakan isak tangis yang tampaknya sia-sia. Aku sendiri tak ingin terlalu lama memperhatikan keadaan sekitar yang tak begitu penting. Dalam otakku hanya ada satu perintah: cari di mana mayat Alex berada.
Beberapa petugas berlalu-lalang menuju garasi dan tempatku berdiri—ruang tamu. Aku sendiri merasa bagaikan seorang tamu yang tak diundang dan menyelundupkan diri secara ilegal. Semuanya tampak mengacuhkanku. Namun, sekali lagi kutegaskan dalam diriku: aku tak perlu memedulikan hal itu.
Wijaya sendiri sebenarnya belum meninggalkan ruangannya, menuju tempat di mana Alex ditemukan. Kabar yang cepat beredar di kantor membuatnya langsung menghubungiku. Aku cukup bersyukur karena pilihanku untuk meminta maaf tampaknya memberikan keuntungan, membuat Wijaya segera menghubungiku. Aku sendiri yakin Wijaya akan tetap bersikap profesional, cepat atau lambat dia akan memberitahuku. Namun, pilihan 'cepat' adalah pilihan yang kubutuhkan untuk saat ini.
Kedua sepatuku mengetuk dengan keras, melayangkan kaki-kaki ringanku seolah hendak terbang. Kemudian, di ujung ruangan, sebuah pintu yang mengintegrasikan garasi dengan bagian dalam ruangan—tepatnya dapur—segera kulihat. Seorang polisi berjaga di depan pintu dan tampak tak peduli ketika aku berusaha memasuki garasi. Kami menggunakan seragam yang sama dan tanda kepangkatanku lebih tinggi, mungkin orang itu tak ingin mencari masalah denganku. Jadi, tanpa susah payah kumasuki garasi ini.
Bau karbondioksida lama dalam susana gelap yang menempel pada dinding-dinding ruangan segera menusuk hidungku. Aku tak pernah menyukai bau ruangan tertutup yang dipenuhi oleh bekas pembakaran gas kendaraan bermotor. Jadi, secara refleks aku menutup hidung karena tak tahan akan aromanya. Untuk sesaat, aku pikir Alex menghilangkan nyawanya sendiri dengan menghirup gas karbondioksida secara berlebihan, tetapi anggapanku itu kandas ketika kulihat mayatnya yang belum dievakuasi—aku terlalu cepat datang ke sini.
Dari balik jendela mobil, aku dapat melihat Alex dalam keadaan tak bernyawa. Kedua matanya terpejam dengan kepala yang menunduk ke bawah. Menggunakan pakaian casual yang dapat ditemui di toko manapun, Alex lebih mirip seperti seorang preman berwajah seram daripada seorang polisi. Namun, denyut nadinya yang kini telah berhenti membuatnya tak dapat melakukan apapun.
Aku bukan orang pertama yang berada di lokasi kejadian. Kulihat beberapa petugas tengah meneliti, mencaritahu penyebab kematian yang padahal sudah terlihat jelas. Tangan kirinya menggenggam pistol. Bercak darah yang telah berubah warna—lebih gelap dari seharusnya—timbul dari balik bajunya dengan sobekan pada perut bagian kirinya. Dan aku yakin, sebutir peluruh bersarang dalam tubuh Alex, menunggu untuk dikeluarkan walaupun tetap tak akan menyelamatkan nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : 60 Detik dalam Kematian [SELESAI]
Misteri / ThrillerLuka yang diterimanya membuat Roy tak dapat beraktivitas seperti biasanya. Namun, Wijaya--rekan kerjanya--memberitahukan kejanggalan yang terjadi pada sebuah kasus yang diikutinya. Seorang aparat kepolisian ditemukan menjadi mayat. Secarik kertas be...