Jiho duduk dengan tegang di sofanya, sedangkan Mingyu mondar-mandir dengan selembar kertas di tangannya dan ponsel yang setia menempel di telinganya.
Berita kecelakaan pesawat yang terjadi pagi ini membuat siapa saja yang mendengarnya merinding, termasuk Jiho yang sedang duduk tegang menunggu kebenaran peristiwa ini.
"Sial, tidak diangkat," ucap Mingyu. Mingyu tiba di apartemen Jiho tiga puluh menit lalu, karena pagi buta tadi, ia ikut mengantar Jaehyun ke bandara.
"Jaehyun pasti selamat," ucap Mingyu pada Jiho. Walau berkata begitu, hatinya diliputi rasa gelisah.
Baru seminggu yang lalu ia mendengar kabar bahwa Jiho dan Jaehyun akan menikah, dan kali ini, kabar yang sangat buruk menimpanya.
"Halo? Halo?" ucap Mingyu panik pada seseorang di seberang sana. Jiho sudah tidak peduli lagi. Pikirannya sudah berkecamuk, begitu banyak kepanikan dan kekhawatiran dalam hatinya.
Perkataan Jaehyun minggu lalu sedikit banyak membuatnya khawatir. Ia tidak ingin itu menjadi pertanda akan perpisahannya dengan Jaehyun.
Tidak, ia tidak mampu.
Siapa yang akan menemaninya setelah ini?
Siapa yang akan memeluknya setelah ini?
Siapa yang akan ada di sisinya setelah ini?
Siapa yang akan terus mencintainya setelah ini?
"Tuhan, tolonglah aku. Selamatkan Jaehyun," tak terhitung berapa kali Jiho berdoa untuk keselamatan Jaehyun.
"Jiho," panggil Mingyu lirih. Jiho berdiri dan menghadap Mingyu, berharap mendapat sebuah jawaban yang melegakan.
Namun gelengan dari Mingyu menghancurkan semuanya.
Jiho terpaku tak percaya. "Kau berbohong."
Mingyu menggeleng, "Untuk apa aku berbohong, Jiho? Semua kru dan penumpang tewas. Berita itu benar."
"Kau bohong."
"Jiho..." melihat Jiho yang bergetar hebat membuat Mingyu merasa sesak. Perlahan, ia mendekati Jiho dan menyentuh bahunya pelan, seakan sebuah sentuhan saja dapat membuat gadis itu hancur lebur.
"KAU BOHONG!"
Jiho berseru sambil menutup kedua telinganya, tubuhnya sudah merosot dan bergetar hebat. Air matanya mengalir tanpa henti, hatinya patah di dalam sana.
"Kau bohong," isaknya. "Jaehyun selamat. Ini semua hanya lelucon."
Tanpa sadar, Mingyu ikut meneteskan air mata. Melihat Jiho yang begitu terpuruk seperti ini membuat hatinya sangat sakit.
"Jaehyun pasti kembali," isak Jiho. "Kau bohong."
Mingyu hanya diam, sibuk mendekap Jiho yang memberontak dalam pelukannya, tidak bisa menerima fakta bahwa Jaehyun telah tiada. Jeritannya, isakannya, ratapannya membuat Minggu mengeratkan dekapannya.
"Siapa yang akan mencintaiku setelah ini?" isak Jiho. "Apakah aku tidak berhak bahagia? Apakah Tuhan menghukumku?"
"Apakah aku tidak bisa merasakan pernikahan? Apakah aku memang tidak ditakdirkan untuk ini semua?"
Tubuhnya bergetar. Semua memori bersama Jaehyun terputar dalam otaknya tanpa henti.
"Jiho, sudah makan belum?"
"Jiho, ayo pulang bersamaku."
"Jiho, kau terlihat keberatan. Mana, kubantu membawa bukunya."
"Jiho, kau harus istirahat!"
"Jiho, kau cantik sekali."
"Jiho, ayo kita piknik!"
"Jiho, maafkan aku."
Masih banyak hal lain yang diberikan Jaehyun pada Jiho. Satu buket mawar putih, bunga kesukaan Jiho, setiap tanggal 14 dan 26—tanggal ulang tahun Jaehyun dan Jiho.
Juga satu cangkir cokelat-kopi setiap mereka bertemu, notes-notes yang lucu, syal saat musim dingin, payung saat musim panas, topi saat musim gugur, dress saat musim semi, dan ciuman setiap pagi.
Dan terakhir, lamaran Jaehyun minggu lalu, masih berbekas dalam ingatannya.
Kini, ia merindukan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Airplane | Jung Jaehyun [COMPLETED]
Short Story[REPUBLISH] Pesawat menjadi tempat pertemuan Jung Jaehyun dan Kim Jiho hampir sepuluh tahun lalu. Sama-sama berasal dari Korea dan bercita-cita untuk berkuliah di Amerika membuat keduanya dekat. Pesawat menyatukan mereka berdua, dan akankah mereka...