23 - Violinis

619 36 0
                                    

Kembali setahun yang lalu...

Raina menghempaskan tubuhnya pada sofa. Entah mengapa hari ini lebih banyak mengeluarkan emosi. Apa mungkin karena cuaca di luar ruangan yang selalu mendung? Ah tidak, dia kan gadis gila hujan.

Matahari belum terlalu melangkah ke barat langit, namun pikirannya sangat lelah sebab mempertimbangkan hubungannya dengan Bian. Hubungan yang seharusnya dari awal tidak pernah terjalin. Waktu SMA adalah masa sebagian besar remaja berharap memiliki seseorang yang tulus mencintai. Mulanya Bian memang sangat menghargai perempuan. Namun semakin lama pria itu menjadi posesif.

TING TONG!!!

Pintu apartemen itu dibuka, Raina sekejap terkejut melihat seseorang yang ada di hadapannya.

"Sarah!!"

Sebuah pelukan spontan pertanda kerinduan mulai diulang beberapa kali.

"Kok bisa ke London?"

"Gue nggak cocok sama jurusan teknik kimia. Kayaknya perlu waktu satu abad deh kalau mau lulus. Dari pada gue mati sebelum punya gelar S1, lebih baik terima tawaran akting di salah satu film terbaru." Jawabnya.

"Wahhh, hebat kamu!"

"Masih aku-kamu aja, Rain bahasanya," Sarah tertawa ketika menyadari Raina belum berubah, masih polos.

"Aku kan lahir di Bandung, Rah. Sementara gue-elo untuk mereka yang dari Jakarta. Jangankan pakai gaya bahasanya, pergi kesana aja belum pernah."

Tawa Sarah semakin terbahak-bahak, "Seriously? Bandung-London aja udah ditempuh, yang Jakarta malah belum diinjak sama sekali."

Obrolan terus berlanjut, serasa hanya kamar milik Raina yang mengeluarkan suara. Tawa dan candaan tanpa ba-bi-bu itu memang cukup lama tidak muncul sejak hari kelulusan.

"Terus, gimana sama si es batu? Masih belum jujur dia kalau suka sama lo?"

Bibir Raina langsung mengatup rapat ketika pembicaraan berbelok tentang laki-laki itu.

Dia hanya menggeleng.

"Cielah, emang dasar ya tuh cowok. Ngomong dia cinta sama lo aja harus nunggu sampai plankton punya dua mata."

"Eh, tunggu. Emangnya kamu tau darimana kalau dia cinta sama aku?" Sebenarnya telat tanya hal ini.

"Kalau tentang itu sih, dia nggak pernah terus terang langsung ke gue. Belum bilang sih kalau cinta. Tapi naluri gue udah merasa. Cowok mana sih Rain yang nggak tertarik sama lo? Sampai si tukang es batu keliling juga naruh rasa sama lo."

Ternyata memang Revan tak pernah mengatakan kepada siapapun kalau ia mencintai Raina. Tidak pernah.

"Camkan itu, Rain. Dia nggak pernah suka sama kamu." Batinnya.

"Percuma. Dia mungkin juga udah lupa sama tulisan-tulisan di surat itu. Atau bisa jadi, Revan yang sekarang dengan yang di surat sudah berbeda."

Sarah sangat paham yang sedang ditanggung sahabatnya. Raina tampak lebih kurus dengan kantung mata hitam tebal, wajahnya juga sangat pucat.

"By the way, aku rindu ibu dan ayah. Sedang apa ya mereka di surga?"

Sarah mendekat kemudian memeluknya. Pelukan paling hangat yang sangat Raina butuhkan untuk menopang tubuhnya yang semakin lemah dimakan hari.

"Mereka bangga sama lo, Rain. Lo itu cewek paling kuat sepanjang hidup gue. Bahkan gue butuh belajar dari cara lo menjalani masalah."

Tanpa sadar Raina meneteskan air mata. Dirinya mulai percaya bahwa manusia paling kuat sekalipun membutuhkan pundak untuk bersandar.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang