7 - Katakan Saja

863 50 0
                                    

Raina menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit-langit rumah Revan. Dadanya terasa terhimpit sesuatu yang mengganjal. Dia berusaha terlihat senang dengan keputusan yang Revan pilih. Raina bukan siapa-siapa, tak berhak menentukan jalan hidup siapapun apalagi laki-laki bertubuh jangkung itu.

"Bagus, aku mendukungmu sepenuhnya!" Ucapnya semangat.

"Besok pagi kereta ku berangkat."

"Boleh mengantarmu sampai masuk ke dalam kereta?" Raina menatap Revan.

Revan mengangguk, "justru aku menunggumu berjanji untuk mengantarku."

Raina tersenyum tipis, walau tampak terpaksa dan kaku. Dia bergegas pamit pulang mengetahui hari mulai gelap. Melangkahkan kaki pergi, menuju ke pekarangan rumahnya yang kumuh dan sempit.

Namun ia beruntung masih memiliki tempat sebagai saksi bisu segala perasaannya setiap hari. Hanya di dalam rumah, Raina dapat mengakui bahwa dia sedang sedih, marah, kesal, bahagia, ataupun terpuruk. Jika saat bahagia, Raina tak segan menceritakan kejadian menyenangkan dan menyedihkan kepada hujan.

Seseorang mengetuk pintu, membuat Raina terbangun. Siapa yang bertamu pagi-pagi buta seperti ini. Dia mendengus kasar disusul matahari yang menusuk matanya lewat celah jendela.

Raina membukakan pintu, berdiri seseorang yang tak asing. Laki-laki bertubuh tinggi mematung di ambang pintu, ia menatap penampilan Raina dari bawah sampai atas.

"Baru bangun ya?" Bian tersenyum.

Wajah Raina merah padam, baru sadar siapa yang ada di hadapannya. Matanya membelalak ketika melihat pakaiannya yang masih mengenakan piyama. Raina melirik jam dindingnya, matanya membulat lebih lebar.

"REVAN!" Raina menjerit, langsung menyambar jaketnya dan berlari keluar tanpa mempedulikan Bian.

Berkali-kali Raina menghentikan taksi, namun selalu penuh. Kota sangat padat ketika hari libur. Dalam lima belas menit, dia berhasil menaiki taksi. Seperti biasa, jalan raya ikut penuh diisi ribuan penduduk kota. Menyebabkan setiap kendaraan harus terhenti karena jalan yang tak memadai. Ditambah orang-orang yang berlalu-lalang memenuhi trotoar, menambah kemacetan.

Raina mulai panik, dia takut mengecewakan Revan. Dengan sangat terpaksa, gadis itu turun dari taksi memilih berlari menuju stasiun. Dia tak mempedulikan berapa banyak orang yang tertabrak tubuhnya. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana sampai di stasiun sebelum kereta Revan meluncur.

Dalam sesaknya stasiun, Revan memutar pandangannya. Hanya tinggal beberapa menit lagi kereta akan berangkat, namun gadis yang ditunggu belum terlihat.

Dari sudut stasiun, seseorang berlarian menuju gerbong-gerbong kereta. Revan dapat memastikan itu Raina. Dia memandang gadis berkacamata itu dengan hati lega. Raina menyadari keberadaan Revan, mereka berdiri mematung.

"Kamu datang, Rain." Ujar Revan.

"Memangnya aku bilang tidak bisa datang?" Jawabnya sambil berusaha mengatur nafas yang masih terengah-engah.

Revan memandangnya dengan tatapan heran, memperhatikan pakaian yang dikenakan Raina.

"Kenapa?"

"Kamu belum mandi ya?" Revan tertawa pelan.

Raina spontan melirik piyama nya.
"Karena kesiangan," ucapnya, "takut kamu pergi sebelum pamit."

"Aku bukan pengecut, Rain. Meninggalkan seseorang tanpa memberinya salam perpisahan terlebih dahulu adalah hal paling pengecut."

Raina belum berkutik, tubuhnya terhempas angin yang mendadak terasa hangat. Ucapan Revan seakan menjadi pemicu detak jantungnnya bertambah cepat.

"Aku naik dulu," kaki Revan melangkah, memasuki salah satu gerbong.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang