25 - Kedai Es Krim

539 31 0
                                    

Dua Tahun Kemudian Menjelang Kelulusan…

Raina bekerja keras untuk menyambung biaya pendidikannya yang sempat terputus. Mau tidak mau ia harus banting tulang tanpa sepengetahuan Arga. Hanya Sarah yang tahu soal dirinya yang berjualan es krim di kedai setelah jam kuliah berakhir, lalu dilanjutkan menjadi office girl sebuah perusahaan sederhana, dan malamnya memainkan biola sebagai hiburan di restoran ternama.

Hari ini mata kuliahnya sedikit, jadi menjadi kesempatan untuknya memanfaatkan jam bekerja yang lebih banyak. Bisa menambah pemasukan, meski hanya sebagai karyawan kedai es krim tengah kota. Tiga pekerjaan serabutan itu masih bisa membuatnya bertahan kuliah di London sampai detik ini.

Raina memasuki kedai es krim dengan senyum semangat yang selalu ia kenakan. Masih belum terlalu siang, jadi kelebihan jam kerjanya akan menambah honor pula.

“We are so busy today.” Ujar pemilik kedai.

“Yes, Sir. I’ll serve the customers request!” Katanya dengan semangat.

Di sisi lain, kondisinya tak bisa berjanji untuk selalu fit di waktu bekerja. Perut sebelah kanannya mulai terasa seperti ditusuk. Raina mengabaikan rasa sakit itu sampai jam kerjanya habis. Baru saja tubuhnya rebah di kursi, jam tangannya berbunyi, seketika ia terperanjat.

“Oh, no, no. Ten minutes again.”

Setelah melepas baju dapurnya, Raina langsung berlari menuju kantor. Secepat kilat mengenakan seragam office girl miliknya. Lalu meraih kain pel dan kemoceng. Sakit di bagian perut itu semakin meradang. Berkali-kali Raina harus menghentikan langkahnya untuk menahan sakit, lalu melanjutkan bersih-bersih bila sakitnya berkurang.

“Aku kuat. Harus kuat. Masa kerja sepele gini capek. Nggak, pokoknya harus terus semangat!”

Sampai ia tak sadar seseorang memperhatikannya sejak tadi. Orang itu mendekat.

“Are you okay? You look in pain.”

Raina memutar pandangannya, sekejap ia membulatkan bola matanya.

“Rain?”

Tanpa panjang lebar, Raina hendak berlari menyingkir. Namun pergelangan tangannya lebih dulu di tahan oleh sosok itu.

“Lepaskan!” ditepisnya tangan lelaki itu.

“Rain, ini kamu? Akhirnya kita bisa ketemu lagi.” Kata pria itu sambil tersenyum.

“Sorry, Sir. But I don’t know you. We never meet before it.” Kalimat itu ia lontarkan dengan penuh penekanan.

Raina memalingkan pandangannya, berusaha tidak menangis, berusaha menahan amarahnya yang telah memanas. Oh, Tuhan. Mengapa justru ketika dirinya mulai berdamai dengan kesendirian, ia harus bertemu lagi dengan sosok itu. Orang yang selama ini membiarkannya menunggu terlalu lama, orang yang telah menghancurkan segenap hatinya berkeping-keping, sampai sudah tak punya alasan untuk bertahan.

“Rain, aku minta maaf,” suara pria itu masih sama, sedikit serak dengan intonasi paling lembut.

Raina berdiri mematung, tak tahu harus melakukan apa. Hatinya remuk hampir hancur. Perasaannya yang tadinya tenang, kini berantakan dan sulit mengeluarkan kata-kata.

“Aku kembali, Rain. Aku kembali untuk kamu.”

“Saya ulangi sekali lagi, saya tidak kenal anda. Jadi tolong jangan sok tahu tentang nama saya. Permisi.”

Raina melempar pandangan marah. Seperti benar-benar tak mengenali Revan yang tengah berdiri jelas di hadapannya.

“Hei, hei, Raina!” Revan masih mencoba mengejar, “kamu harus tahu, aku nggak pernah cinta sama dia.”

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang