22 - Surat Lama?

669 35 0
                                    

Jam dinding berdera tanda telah masuk tengah malam. Raina teringat akan sesuatu yang diabaikan selama ini. Dia melangkah menuju meja belajar yang berantakan oleh buku-buku kuliah. Tatapannya lurus dengan sebuah kotak yang sudah berdebu karena lama tak disentuh.


Raina meraih kotak tersebut, lalu memhukanya dan terdapat puluhan amplop berisi surat menumpuk disana. Benda yang sama sekali tak ingin dia buka selama ini. Namun luka itu telah hilang. Kini ia tak perlu enggan membaca apa yang belum dibaca.

Surat Pertama.
Dear, Raina.
Entah rasanya agak aneh menulis kata 'dear' pada awalan surat ini. Pertemuan-pertemuan yang sempat terjadi itu belum hilang dari ingatanku. Bingung bagaimana mengucapkan kata 'maaf' untuk pertama kalinya kepada perempuan. Kamu tahu kan aku ini hanya laki-laki es batu yang sulit memulai obrolan. Tapi tidak setelah kamu datang dan mengubah semuanya.

"Ternyata Revan bisa bicara juga meskipun lewat kertas kayak gini," ucap Raina tersenyum simpul.

Surat Kedua.
Bagaimana kabarmu di London? Ini hari ke empat belas kita nggak sama-sama lagi. Empat belas hari yang kosong tanpa cerita-ceritamu. Kalau aku bilang rindu secara langsung, kamu pasti marah ya, Rain?

"Nggak, Van. Aku justru mau nya kamu langsung bilang disini, bukan dari secarik kertas."

Surat Kelima.
Aku dengar di London sedang musim hujan. Jaga kesehatanmu. Kamu boleh menyukai air yang jatuh dari langit itu, tapi jangan sampai sakit karena kedinginan.

"Aku sudah nggak pernah main hujan lagi, Van... Semuanya tanpa kamu itu jadi nggak seru. Monoton."

Surat Kesepuluh.
Maaf ya, sampai sejauh ini aku belum bisa ada di setiap kamu nangis atau senyum bahagia. Tapi beruntungnya disana ada Bian. Bagaimana kabarnya? Hubungan kalian masih baik-baik saja kan? Percayalah, Rain. Aku menulis kalimat ini sambil menahan air mata.

"Semua yang ada di kamu, tidak ada yang Bian miliki." Matanya mulai berkaca-kaca.

Surat Kedelapan Belas.
Masih ingat hari dimana kamu memutuskan untuk pergi jauh? Hari itu aku jadikan kesimpulan bahwa kamu sudah bahagia dengan pilihan hatimu. Semua perasaanku menjadi lega karena kamu bisa menjalani kehidupan baru, kehidupan yang dari dulu kamu dambakan, bersama orang yang tepat.

Raina menutup kembali surat-surat itu kemudian memasukannya ke dalam kotak lagi sampai rapih. Semakin jauh isi suratnya semakin memperjelas. Dirinya telah menghancurkan hati seseorang di ujung sana. Bukan nada kecemburuan yang terasa dari tulisan itu, tapi ketulusan Revan yang membuat Raina merasa sangat membenci dirinya sendiri.

***

Benar adanya. Gadis itu mulai tak tertarik dengan hujan. Segala peristiwa yang diawali dengan penuh tawa itu kian berakhir di tengah jalan. Dipaksa melupakan karena sisanya hanya menunggu tanpa kepastian.

Raina paham gejolak seperti ini juga pernah dialami Revan sebelumnya. Tak punya keberanian apa-apa bahkan untuk mengucap rindu, menyadari dia bukanlah siapa-siapa dan bukan prioritas. Saat ini berbalik tentang menunggu kabar dengan puluhan ribu kilo jarak.

Keesokan harinya, seseorang mengetuk pintu apartemen cukup kencang sampai berhasil membangunkan kantuk di pagi hari.

"Siapa sih pagi-pagi ganggu aja, ck!" Gerutu Raina.

Setelah pintu dibuka, dirinya semakin kesal melihat siapa yang mengganggu tidurnya.

"Rain, saya mau bicara..."

Mulut Raina terkunci rapat, sesungguhnya malas sekali bertemu Bian lagi. Baginya, Bian lebih buruk dari pecundang yang harusnya sudah di buang jauh-jauh.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang