17

670 32 0
                                    

Keringat Revan sudah menetes di pelipis sejak tadi. Kemungkinan dua belas jam ia habiskan untuk menghitung presentase dan merencanakan pembangunan dari praktek usaha kampusnya. Salah satu program yang sedang Revan garap sampai beberapa bulan ke depan.

Laki-laki itu sedang menjalani perkuliahan yakni memilih jurusan bisnis dan ekonomi. Kampusnya tidak terlalu jauh dari rumah susun sederhana yang ia sewa saat ini. Rumah susun yang terdapat di ujung kota Bandung. Biaya kuliah sangat tak memungkinkan untuk membeli rumah layak huni sendiri.

Revan tidak sendirian, dia punya Yoga. Si Yoga yang setiap hari doyan mengomentari sifat-sifat Revan yang aneh baginya. Tapi bagi Revan, Yoga adalah teman pertama yang dia miliki selama belasan tahun hidup di dunia.

Nada pesan masuk berbunyi di layar ponsel.

Sender; Yoga Yudistira
"Van gue phobia tikus, lo bisa cepet pulang nggak? Buruan!"

Revan hanya cekikikan sambil membalas pesan menggelikan itu.
"Sejam lagi. Gue langsung ke toko musik."

Sifat dinginnya masih sama. Bahkan kepada Yoga teman satu atapnya. Mungkin memang bawaan lahir, tidak bisa diubah, membuat Yoga kadang jengkel padanya.

Sepulang dari tempat praktek, Revan bergegas menuju tempat yang ia kunjungi setiap usai urusan praktek selesai. Toko peralatan musik yang dibangun dengan kerja kerasnya, agar bisa menambah penghasilan untuk makan sehari-hari.

Bukan apa-apa, dia hanya ingin membersihkan segala isi toko seperti gitar, drum, bass, bahkan biola dan piano. Setelah dirasa puas, ia cepat-cepat pulang. Revan melirik jam tangan, sudah hampir tengah malam.

Sampai di sebuah rumah susun dengan kawasan yang kumuh, Revan melangkah masuk.

"Baru balik? Bukannya praktek selesai sejak pukul sembilan malam?" celetuk Yoga menahan kantuk.

"Biasa, gue habis cek toko."

"Van, kenapa lo nggak ambil jurusan musik aja sih? Dulu waktu SMA, hampir semua guru kagum sama lo karena main biola."

Revan melepas jaketnya, tertawa pelan, "terus kalau gue lulus, bakat musik buat apa? Ngamen? Yog, kita nggak akan bisa makan sama bayar kuliah kalau bergantung sama biola ataupun alat musik lainnya."

"Ya udah, lo jadi tukang pos aja."

"Tukang pos? Maksud lo kirim surat?"

"Iya lah," Yoga menunjuk tumpukan amplop di meja, "lihat noh surat setumpuk buat apa? Buat yang jauh di sana, di London. Tapi nggak ada satupun balasan." Godanya.

Dengan berat hati, Revan membenarkan gurauan itu. Semenjak disibukkan oleh mata kuliah, waktu menulis surat-surat untuk Raina mulai tersita. Bahkan Revan mulai jenuh dengan surat yang ia kirim tanpa pernah dibalas satupun. Seminggu yang lalu, dia sempat mengirimkan sebuah paket ke London, entah sudah diterima atau belum, atau justru paketnya di buang ke tong sampah.

***

Masih pagi, matahari belum begitu condong. Suara ketukan pintu di depan menggugah Yoga yang masih menikmati sarapan sambal pakai tempe.

Tok! Tok! Tok!

"Pasti dia nih yang ganggu pagi-pagi gini."
Yoga membuka knock pintu.

"Pagi, Revan!" Suara Ziyah yang dewasa dan menggemaskan. Wajah cerianya berubah datar ketika bukan Revan yang membukakan pintu.

"Ngapain sih lo?"

"Ketemu Revan lah. Mana pernah gue kesini mau ketemu sama lo."

Yoga menatap sinis, "dih..."
Revan mendengar suara bising dari teras rumah.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang