24 - Bunga Itu Memilih Layu

502 33 0
                                    

Sabit sedang indah malam ini, melengkapi ketegangan jiwa Revan yang sedang diombang-ambing rasa bimbang. Tangannya tak berhenti gemetaran, keringat dingin berkali-kali membuat telapak tangannya basah.

“Mama… Papa… Lihat nih siapa yang datang,” Ziyah berseru memanggil kedua orang tuanya, tak lama setelah itu, Albert dan Yuni keluar dengan pakaian yang rapi. Sepertinya Ziyah memang sudah mempersiapkan semuanya.

Jujur hatinya belum siap menerima tanggung jawab untuk mencintai gadis itu. Namun tak ada pilihan lain, ia tak ingin mengecewakan Vika atas pesan terakhirnya. Dan semua itu telah membawa Revan pada malam ini.

“Malam, Om, Tante.” Sapa Revan ramah.

“Malam, Revan…,” balas Yuni berjabat tangan, “oh jadi kamu teman SMP Ziyah?”

Revan hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Revan kerja atau masih kuliah?” Tanya Albert sambil menyeruput kopi.

“Saya masih kuliah di Universitas Keio, Tokyo. Khusus malam ini jam kuliah saya ganti hari lain untuk menemui Om dan Tante.”

“Hebat, artinya kamu laki-laki yang pandai. Saya tahu bagaimana rakyat Jepang memilih mahasiswa mancanegara. Dan mereka pasti tidak asal memasukan kamu ke Universitas itu.” Albert terlihat begitu bangga.

Perbincangan itu terasa cepat sekali, belum juga Revan menguatkan rahangnya untuk menyelah topik pembicaraan. Ia merogoh kotak berwarna merah dalam saku jas hitamnya.

“Begini, kedatangan saya kemari bermaksud hendak melamar Ziyah.”

Sejenak suasana menjadi senyap, tidak ada respon sama sekali. Lalu Albert dan Yuni saling pandang, beberapa detik kemudian mereka tersenyum tipis.

Albert beranjak dari sofa, mendekati Revan yang masih tegang, lalu menepuk pundak pria itu.

“Pergilah ke Tokyo, selesaikan kuliahmu, lalu setelah itu kamu boleh memboyong anak saya.”

Ziyah seketika melompat kegirangan. Mulutnya tak berhenti berterima kasih kepada orang tuanya. Namun, Revan hanya tersenyum pelik. Perasaannya seperti dipenuhi ranting-ranting pohon yang saling berserakan, keadaan ini sangat mengganggu hatinya.

***

Dua hari setelah lamaran mengganjal tersebut, Ziyah terlalu bergairah untuk segera memposting segala hal. Dari ucapan syukur sampai meminta doa kepada seluruh  publik menjelang hari penikahannya.

Tentu menjadi berita yang cukup mengejutkan untuk Sarah pagi ini. Saat ia sibuk membuka situs-situs online untuk pemanasan paginya. Angin mana yang menggerakan jarinya untuk membuka Instagram.

Seseorang mengirimkan sesuatu beberapa menit lalu.

Alisnya mengerut tajam, ia berharap postingan itu hanya akal-akalan Ziyah untuk mempertajam suasana, untuk melukai hati Raina. Namun setelah memaparkan kolom komentar yang menumpuk di bawah foto itu, Sarah semakin yakin bahwa apa yang dia lihat bukan rekayasa.

“Rah, kamu mau sarapan apa? Roti tambah selai Nutella, nasi goreng, atau telur ceplok?” Raina menghampiri Sarah yang masih tertegun di depan laptopnya.

“Sarah, kamu kenapa?”

“Woi, Rah! Kayaknya kamu perlu periksa kuping deh,” kini Raina mendorong tubuh Sarah. Otomatis membuat gadis itu terjungkal pelan.

Raina yang tidak tahu apa-apa seketika menarik pandangannya atas gambar yang masih tertera di layar laptop. Membaca berulang-ulang caption dalam potret itu, ia tak mungkin salah memastikan, jelas itu adalah potret gadis berambut panjang dengan pakaian kekinian khas Ziyah yang sedang merangkul tangan Revan semata-mata begitu romantis.

“He is my prince. Well, when he was passing. We will get married”

Begitu kurang lebih penjelasan yang melengkapi foto dua sejoli yang sedang berbahagia itu.
Raina tak menyangka, selama dua tahun dia menunggu, tanpa kejelasan dan tanpa punya arah. Lalu seseorang di ujung sana memberi kabar pada dunia bahwa ia akan segera menyanding orang lain.

Raina meraih jaketnya yang tergantung, lalu sekelibat mengambil kotak berisi tumpukan surat yang belum sempat terbaca semuanya. Ia melangkahkan kaki pergi dari apartemen. Sarah tidak berani mencegah karena sahabatnya itu pasti sangat terpukul.

Langkahnya sedikit berlari dengan membawa kotak lengkap diberi pita di atasnya. Raina baru merasa lelah ketika sampai di sebuah jembatan yang langsung mengarah ke laut lepas.

“JAHAT!! AAAAAH!”

“Bodoh banget aku percaya sama cowok sok polos itu!!”

“BODOH BODOH BODOH!!”

Orang-orang yang melintas berpendapat bahwa Raina sudah gila. Menangis di atas jembatan sambil berteriak kencang memang hal yang kurang waras. Hatinya seperti dihempas ombak, hancur, bahkan seperti mati rasa.

“Dari awal memang aneh jatuh cinta sama es batu! Ternyata kamu nggak ada bedanya sama Bian! Sama-sama brengsek!!”

Kali ini Raina mengeluarkan semua amplop dari dalam kotak, kemudian meraih sebuah korek dalam saku jaketnya yang tadi sengaja dibawa. Satu per satu surat itu hangus terbakar, sisa abunya dibiarkan terbang ke laut. Sekarang kotak cantik itu tak berisi, semuanya dianggap telah berakhir.

“Apa yang keluar dari mulut kamu semuanya bohong, Revan! Kamu berhasil ikut campur masalah hatiku, lalu kamu acak-acak seakan nggak pernah buat aku jatuh cinta!”

Tubuhnya lemas mendadak, kaki dan tangannya sejak tadi gemetar hebat. Raina hampir menyerah dengan ujian kali ini.

***

Satu minggu tersulit yang harus Raina taklukkan untuk berdamai dengan emosinya sendiri. Namun lambat-laun dirinya mampu meneruskan hari-hari yang akan terus berjalan.

Bekerja serabutan ditambah sibuk kuliah cukup sebagai obat pereda rasa sakit baginya. Apalagi keberadaan Sarah dan Arga yang tak pernah berhenti memberinya semangat. Biarlah jika memang Revan memilih jalan seperti ini, maka Raina pun akan ikut berhenti.

Segalanya tentang Revan hanya masa lalu. Meskipun sangat berat bila harus melupakan pria itu sepenuhnya. Tentu saja karena ini kali pertama Raina mencintai seseorang, menjatuhkan hatinya untuk seseorang. Bukan hal yang mudah untuk cepat dalam urusan perasaan.

“Melamun mulu hobi lo,” tegur Arga memberikan sebotol minuman hangat. Suhu Kota London cukup membuat tubuh menggigil.

“Makasih, Ga.”

“Gue tahu rasa sakit yang lo tanggung, tapi inilah hidup. Cuma ada dua pilihan, disakiti atau menyakiti.”

“Kamu benar, setelah aku menyakiti hati Bian, sekarang gantian aku yang disakiti orang lain.” Ucap Raina sambil tertawa kecil.

Arga memandang gadis di sebelahnya yang masih terlihat lesu dan suram.

“Terus rencana lo apa, Rain?”
Raina terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang, “apa aku pulang ke Indonesia aja, ya?”
Karena pertanyaannya tak kunjung dijawab, Raina menoleh, “Arga…”

“Rain, padahal gue selalu disini. Kenapa lo pilih nyerah?”

***


Sebentar lagi, Kawan-kawan. Dihimbau untuk tidak membaca akhir cerita tanpa memegang tissue ya😂
Semoga kalian puas dengan ceritanya!:)

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang