26 - Surat Balasan

579 32 0
                                    

Menginjak hari ke-tiga puluh lelaki berkacamata itu terbaring diam di ruang rawat. Tiga puluh hari menjadi bukti ujian paling berat untuk Raina, menunggu tanpa kejelasan lagi. Setiap hari ia hanya bisa memperhatikan Revan dengan berdiri di luar ruangan, memandang dari balik jendela berukuran cukup lebar.

Hanya itu, karena ketakutannya yang sulit dikondisikan. Tentang bagaimana jika Revan terlalu sibuk tidur sampai tak berkenan membuka matanya lagi. Pemikiran itu selalu menghantui Raina setiap malam.

Begitu juga dengan Arga yang tak terdengar mengeluh ini-itu selama menemani Raina kemanapun ia pergi.

“Maaf ya, Van. Setumpuk suratmu sudah hangus menjadi abu. Kamu sih, mau menikah nggak bilang-bilang dulu. Kan jadi percuma aku tungguin sampai berlumut.” Gerutu Raina masih menatap Revan dari kejauhan.

“Udah, ah,” sahut Arga, “nih gue sama Sarah beli bubur ayam.”

“Iya, iya, aku makan.” Raina mulai merasa ada yang berbeda dari sikap Arga belakangan ini. Seperti lebih sering bicara dengan intonasi tinggi.

Aku kembali teringat hari dimana kita mulai akrab. Kamu melarangku jatuh cinta, karena tidak ingin aku merasakan patah hati sepertimu dulu.

“Selesai makan, cari udara segar di taman rumah sakit, yuk!” Ajak Sarah merangkul Raina.

Gadis itu hanya mengangguk. Mungkin memang pikirannya perlu di daur ulang agar lebih terbuka. Karena sebulan penuh yang hanya bergelut dengan kekhawatiran semata.

Seperti yang dikatakan Sarah. Lepas bubur ayam itu habis disantap, mereka bertiga menuju lahan penuh tanaman yang terletak di belakang rumah sakit. Banyak pemandangan yang dapat ditangkap mata disini, maksudnya seperti orang tua menemani anaknya bermain, kolam air mancur yang dibuat mirip dengan danau, atau sebagian remaja yang sedang dimabuk asmara.

“Masih ngelamun aja, kebiasaan kalau jalan pikirannya kemana-mana.” Setelah ucapan itu, Arga langsung ngeloyor.

Tiba-tiba saja Raina seperti kembali pada masa SMA, dimana ia ingat seseorang pernah mengatakan apa yang dikatakan Arga.

“Tunggu, Ga!” Dia melangkah mendekati Arga, “Kayaknya aku ingat sesuatu, deh.”

Raina mengerutkan dahinya, “jangan bilang kamu adalah laki-laki yang selalu ganggu aku di sekolah? Kamu juga yang sering ngomong pakai kata-kata itu setiap kali aku sedih? Dan kamu juga yang hafal kebiasaanku yang suka melamun dari SMA?”

Mendadak Arga mati kutu. Ternyata gadis itu masih ingat tentang laki-laki yang suka mengekornya di sekolah. Laki-laki yang main ngeloyor setelah ngatain Raina si tukang melamun.

“Ternyata sebelum pertemuan kita waktu main basket bareng, kamu udah tahu semua tentang aku?” kini Raina menggunakan intonasi tegas. Sedangkan Sarah yang melihat kejadian itu masih bertanya-tanya.

“Arga, jawab!”

“Gue… Gue cuma pengen jagain lo disini, Rain. Karena gue tahu lo punya penyakit kanker. Karena gue tahu London nggak akan bisa buat lo berhenti nangis.”

“Jadi, kamu ke London bukan untuk kuliah?” Raina meneteskan air matanya, “ternyata kamu sama aja kayak Bian. Pembohong!”

Raina berusaha membendung tangisnya dan segera pergi dari hadapan Arga, namun belum juga kakinya melangkah, pergelangannya ditahan.

“Rain, lo harus dengar dulu penjelasan dia.” Kata Sarah.

“Tampar gue sekeras yang lo mau,” ucap Arga sambil menunduk.

“Harusnya kamu nggak perlu buang-buang waktu untuk jagain aku!”

“Terus sampai kapan lo mau bohong sama gue, Rain? Sampai kapan lo mau jujur atas perasaan itu? Gimana kalau pada  akhirnya gue sama seperti Revan? Kita sama-sama memperjuangkan satu orang, gimana?”

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang