14

631 36 1
                                    

“Hatimu berulang ku ketuk, tapi dirimu tak pernah sadari aku yang jatuh cinta.”
---

01.30

Revan menatap pekat langit-langit kamarnya. Ia mendapat banyak kejadian yang membingungkan dan menyakitkan hari ini. Namun dirinya tak bisa menyalahkan siapapun, semuanya baru terungkap setelah Vika pergi. Revan merasa iba, namun juga lega. Secara belum sempat ia menyatakan perasaannya kepada Vika, gadis itu justru menghilang dari bumi selamanya.

Sementara di sisi lain, dalam hidupnya kini terisi Raina. Revan menyadari hatinya belum mau pindah, masih enggan mencintai lagi. Melupakan masa lalu bukan berarti harus dengan mencari cinta baru, bukan? Selama ini yang ia tahu hanya ingin menjaga Raina, gadis itu sudah dianggap sebagai penyelamat. Sebagai karya Tuhan yang memang dipertemukan dengannya saat bencana badai melanda Yogyakarta.

“Lagipula tidak mungkin Raina menyukaiku. Dia pasti hanya menggapku sebagai kakak laki-lakinya. Sudah. Tidak lebih dari itu,” ucap Revan pada dirinya sendiri.

***

Lola menerima sebuah surat. Sudah beberapa hari ia berperan sebagai tukang pos antara Revan dan Raina. Bungkusan amplop berisi barisan kata itu ia masukkan ke saku seragam.

Ujian Nasional sudah di ujung penantian. Tinggal menghitung hari, siswa kelas 12 hanya punya waktu sepuluh hari untuk mempersiapkan diri. Sementara itu, Raina sudah lepas dari bimbingan les privat. Dia memilih berusaha sendiri, dengann ilmu-ilmu yang saat itu sempat Revan ajarkan.

Raina juga mulai mengurangi gurauan tak penting seperti biasanya. Dia lebih banyak diam, walaupun berita bahwa kembalinya bicara lagi menjadi kabar bahagia untuk seisi kelas.

“Nih,” Lola mengulurkan surat yang tadi diterima.

“Surat lagi? Yang ke berapa?” Sahut Sarah.

“Rain, ini surat ke tiga puluh loh. Masih belum mau baca juga?” Ovi menatap Raina.

“Teman-teman, kalian lupa aku buta? Mana bisa baca surat? Sudah ya, all about him it’s not important to me.” Ujar Raina.

Ketiga temannya hanya saling pandang, menyerah dengan semua tolakan gadis itu. Mereka berusaha membacakan setiap isi surat dari Revan, namun Raina juga tak henti mengelak. Bagaimana mungkin dia bisa menerima semua penjelasan basi dari lelaki itu lagi, sementara ruang dalam hatinya hanya tersisa perih. Tidak ada lagi cahaya yang terpancar setiap nama Revan disebut.

Raina berjalan menyusuri koridor sekolah. Kali ini tanpa tongkat. Terakhir kali menggunakan benda itu saat ia melemparnya di apartemen Ziyah.

Kakinya tak henti bergerak hingga memilih duduk di bangku taman belakang sekolah. Intuisinya berkata disini sedang sepi, jadi dia bisa menangis sepuasnya. Kemudian Raina merasakan langkah kaki mendekat. Seseorang sedang berdiri di hadapannya.

“Bian ya?”

Bian tersentak, padahal pria itu belum mengatakan apapun tapi Raina mampu mengenali dera kakinya.

“Kamu penyihir ya, Rain?”

“Nggak,”

“Berarti kamu psikolog.”

“Bukan juga,” Raina mulai bingung.

“Tapi kok bisa ya ilmu mu lebih tinggi dari penyihir dan psikolog?”

“Bian, aku nggak ada apa-apanya dengan kedua orang yang kamu sebut. Mungkin bedanya adalah yang bekerja hatiku bukan otakku.”

“Kamu itu gadis yang aneh,” ucap Bian membuat Raina menoleh.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang