19

598 31 0
                                    

Dua minggu setelah mendengar kabar dari dokter, Raina mulai merasa seluruh harapannya yang sudah matang terkubur begitu saja. Bagaimana tidak? Dirinya diagnosa menderita penyakit yang terbilang tidak remeh. Kanker hati. Berita itu seakan meruntuhkan hatinya, meredupkan keinginannya bertemu Revan.

Percuma ketika dapat bertemu lagi, mengulang semuanya layaknya dua orang yang saling merindukan. Organ yang paling penting dalam tubuh semua manusia itu kini rusak dan kemungkinan kecil untuk sembuh.
Raina meneteskan air mata.

Mengumpulkan segala keberaniannya untuk menangis, menangis sekeras yang ia bisa. Ingin sekali rasanya dia protes kepada semesta. Menagih kebahagiaan yang dijanjikan. Tapi kemana janji itu? Tak ada bahkan tak pernah datang. Justru ujian yang menghampirinya bertubi-tubi.

"Hal yang mustahil kalau aku datang ke Bandung lagi, lalu menceritakan penyakit ini padanya."

Nada pesan masuk di ponsel mengejutkannya di sofa apartemen. Terlihat nama pengirimnya, Raina justru tak menghirau dengan tatapan malas.

Sender; Biantara
"Nanti malam saya jemput ya? Jangan lupa pakai gaun yang cantik. Love you."

Raina tak membalas apapun. Hingga malam tiba, malam yang tak menarik baginya. Kesedihan demi kesedihan dia tanggung sendiri hari ini. Usai mengenakan gaun merah nan anggun, Bian telah menunggunya di halaman depan. Setelah menancap gas, jarak antara rumah dengan restoran memakan waktu tiga puluh menjt. Raina melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran mewah. Dengan menu-menu pilihan khas London.

Bian memandangnya dengan tatapan hangat. Wajahnya yang tampan tampak tak bersemangat malam ini, diiringi hawa dingin restoran. Terbuat dari apa hati pria itu, sudah disakiti tetap bersikap seperti biasa. Namun di sisi lain, Raina tak nyaman dengan suasana ini. Di samping perasaan bersalahnya masih mengganjal, tatapan Bian lebih cenderung mengerikan.

"Jangan-jangan dia marah besar denganku, makanya sikapnya jadi manis banget." Batin Raina.

"Bian, aku ke toilet sebentar."

Bian hanya membalas senyuman.

Dengan menghalalkan cara apapun, Raina berhasil lompat lewat tralis kamar mandi restoran. Walaupun gaunnya sobek terkena ujung besi, yang penting bisa bebas. Dia berlari secepat mungkin, entah hendak menuju kemana. Tak ada tujuan lain selain berlatih biola. Dua minggu lagi final akan tiba. Penentuan violinis terbaik dalam kota.

Raina melewati padatnya kota dengan menenteng heels miliknya. Tak peduli reaksi Bian menunggu lama di restoran, tak peduli dinginnya udara London di malam hari, bahkan tak mau tahu orang-orang menganggapnya aneh ketika berlarian di jalan raya dengan suhu rata-rata lima belas derajat.

Menyebabkan dirinya tak sadar telah menabrak seseorang.

Bruk!!!

"I'm so sorry, Sir. Sorry." Raina menundukkan kepalanya, meminta maaf.

"Ngapain lo keliaran di sini?"

Suara itu, suara yang familiar.

"Kamu kira aku kambing?!" Sahut Raina mengambil heels yang terlepas dari genggaman, "ini lagi kabur."

"Kabur dari siapa? Lo mau di ternak?"

"Ih, Arga! Nggak pas banget keadaannya buat bercanda!"

Arga tertawa geli, "iya-iya, yaudah lo mau kemana?"

"Tadinya sih mau latihan biola di aula kampus."

"Malem-malem gini? Gila lo."

"Ya biasanya emang malam latihannya," ucap Raina, "tapi setelah dipikir-pikir, aku mau pulang aja."

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang