11

739 55 1
                                    

Terhitung genap satu minggu, Raina belum juga membuka mata. Setiap hari Revan tak pernah absen mengunjungi rumah sakit, kala sibuk maupun lengang, lelah atau santai, tak satupun hari terlewat tanpa kedatangannya di sana.

Begitupun dalam suasana malam minggu, jika manusia-manusia lain meninggalkan rumah nyaman mereka untuk bersenang-senang, menikmati akhir pekan. Di lain sisi, Revan memilih duduk manis di sebelah Raina. Melihat satu demi satu nafas yang masih terhembus, mengharapkan suatu keajaiban datang saat malam minggu, dia hanya ingin Raina bangun dari tidur panjangnya.

Revan merasa haus. Ia mencari segelas air putih. Ada segelas air di atas meja, entah untuk apa seorang perawat meletakkannya di sana. Apa dia tidak tahu bahwa ketika nanti Raina bangun, yang dibutuhkan bukan air putih, tapi keberadaan Revan.

Sedetik kemudian, dia baru menyadari benda apa yang diletakkan bersebelahan dengan gelas. Ada sepucuk surat dan setangkai mawar di meja ruangan. Perlahan Revan membuka amplopnya, menafsirkan kata-kata dalam selembar kertas.
--------------------------------------------------

To : Gadis yang sedang koma.
Perasaan terpendam biarlah jauh terbenam di dasar bumi.
Jangan disentuh, lepaskan saja.
Cobalah membuka mata untuk hal baru yang asing.
Namun dengannya kamu tak perlu menunggu.

Bian Bintara
-

----------------------------------------------------
Revan hanya geleng-geleng kepala mengetahui isi surat tersebut, tidak bisa memahami setiap katanya. Namun, dia juga bukan pria yang bodoh, setiap orang tahu, kalimat seperti yang tertulis di selembar kertas itu adalah pertanda. Bahwa Bian menginginkan Raina menjadi miliknya, lebih dari sebatas teman.

***

Revan terbangun, pandangannya memutar seisi kamar. Nampaknya masih belum terlalu siang. Udara komplek perumahannya terasa sejuk di pagi hari. Hari minggu membuat suasana jadi berbeda, banyak penduduk berkeliaran, membugarkan tubuh, bertarung dengan embun dan siraman sinar matahari.

Tiba-tiba terdengar bunyi telepon berdering. Revan menggeledah tempat tidurnya, rupanya ponselnya terjatuh di kolong.

“Ini dari rumah sakit,” suara seseorang dari seberang.

“Ada apa?”

“Kami hendak mengabarkan bahwa kekasih anda baru saja mengalami reflek gerakan pada jari-jarinya.”

Revan termenung sejenak, setelah menunggu sekian lama. Setalah rasa sedih itu berlarut-larut dalam penantian.

“Saya segera kesana,” balas Revan dengan jantung berdebar-debar, “tapi tunggu, gadis itu bukan kekasih saya.”

Setelah sambungan terputus, Revan bergegas meraih jaketnya. Masa bodoh dengan mandi apalagi sarapan. Mendengar kabar Raina mengalami reflek sudah membuat perutnya kenyang.

Mikrolet sangat sulit ditemui hari libur begini, Revan memilih berjalan. Walau memang mustahil bisa sampai rumah sakit dengan waktu singkat. Namun dia tak punya kendaraan pribadi, seluruh kehidupannya setelah bencana ditanggung oleh pemerintah sampai akhir bulan ini. Tidak akan cukup untuk membeli sepeda motor. Bahkan ia berencana untuk mencari kerja sampingan, ringan tapi berpenghasilan, setidaknya dapat digunakan untuk biaya makan sehari-hari.

Sekitar tiga perempat jam Revan menginjakkan kaki di rumah sakit, langkahnya bergegas menuju kamar rawat Raina. Tak mempedulikan seorang cleaning servise yang sedang menyapu lantai mengeluh karena terinjak kakinya.

Revan memasuki ruangan terang itu, membuka knock pintunya pelan. Di dalam ruangan telah berdiri dokter yang setia memantau perkembangan Raina, dengan beberapa perawat di sampingnya. Revan hanya ternganga dengan keadaan, rupanya Raina masih menutup matanya. Tidak ada perubahan sama sekali. Revan terduduk lemas, sel-sel penyemangat dalam tubuhnya tiba-tiba hilang. Dia terlalu berharap pada asumsi perawat yang menelponnya tadi.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang