16

628 34 1
                                    

"Morning, dear." Kecupan hangat mendarat di kening Raina.

"Morning," jawabnya sambal membolak-balik lembar buku.

"Baca apa?"

"Tugas membuat tangga lagu lebih rumit dari mengerjakan matematika tingkat SMA ternyata."

Tiga bulan berlalu. Kini Raina tidak pernah berurusan dengan angka nominal pada pelajaran matematika. Bidangnya telah berubah, berbelok ke arah musik. Tidak semua alat musik ia kuasai. Berawal dari menginjak London, tujuannya hanya satu, yakni menyentuh sebuah biola dan memainkannya di negeri nan indah ini. Satu-satunya benda yang belum pernah ia kenal sebelum Revan memberitahunya dulu saat di ruang musik SMA.

Berbeda dengan Bian. Pria tampan dan berwibawa itu masih berpegang teguh pada ilmu kedokteran. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dia memang mahir dalam berhitung. Tidak punya bakat seni. Bian merasa memiliki hak penuh melindungi Raina. Itulah mengapa ia memilih Brunel University sebagai impiannya yang baru, bersama orang yang sangat ia cinta.

Bian tertawa, "makan dulu yuk."

"Sebentar lagi, Bian."

Bian tak peduli. Lalu dia menutup buku Raina dengan lembut. Bermaksud gadis itu mendahulukan isi perutnya.

"Mau makan apa?"

"Up to you."

"Kok terserah saya?"

"Bian, tiga bulan kita pacaran. Dan kamu masih pakai 'saya'? Kita ini sepasang kekasih atau bos sama karyawannya?"

"What's wrong, dear?"

"Kaku tau."

Bian lagi-lagi terkekeh melihat tingkah Raina yang tidak pernah berubah. Ketus, tidak banyak bicara dan jarang tersenyum. Walaupun begitu, ia masih imut. Kacamata yang pernah dipakai saat masa SMA sudah diganti. Lebih tipis namun minus matanya bertambah.

"Hei, jadi nggak ini?"

"Of, course." Lamunannya berhamburan.

Mereka mendatangi restoran yang menyediakan menu terlezat di London. Restoran favorit Raina. Tidak terlalu mewah, tapi seisi ruangannya sangat estetik, klasik, seperti berada di zaman dulu. Raina memesan panekuk. Selalu makanan itu yang menjadi daya tariknya disini. Dia belum pernah memesan makanan lain. Panekuk di London memang terkenal enak dan tak punya tandingan.

Bian tidak pesan apapun. Mungkin dia sudah sarapan tadi di apartemen. Selalu menjadi kebiasaan, dirinya memang suka begitu.

"Kamu tau, Rain. Kenapa saya lebih suka pakai 'saya' dari pada 'aku'?"

"Nggak tau karena belum dikasih tau."

"Karena 'saya' lebih romantis untuk lawan bicara seperti kamu. Jadi, saya bedakan gimana bicara sama kamu, dengan bicara sama orang lain."

Raina hanya menunjukkan senyum getir. Memang sih, perkataan Bian jauh berbobot, tapi tetap membosankan.

Seorang pramusaji meletakkan panekuk hangat di atas meja mereka. Namun Raina belum juga menyantap. Ada hal yang selalu mengganjal hatinya. Hal yang sekarang terasa amat jauh dari pandangan matanya. Ia merindukan sesuatu, namun tak punya keberanian menyimpulkan sendiri.

***

Ketukan pintu apartemen memaksanya untuk bangkit dari sofa. Ketika Raina membuka dan memastikan siapa yang datang, seseorang membawakan sebuah kotak, sepertinya seorang kurir.

"Miss Raina?" Pria itu mengulurkan kotak yang dari tadi dipegangnya.

"What is it?"

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang