Bab 4 - Senyuman Pertama

1K 58 3
                                    

Keesokan harinya, Revan berjalan menuju tenda perempuan. Masalah baru. Dia tak menemukan Raina disana. Tak ada yang tahu kemana perginya gadis itu. Raut wajah Revan berubah sedikit cemas, namun tidak tampak jelas.

Petugas yang berkeliaran di sekitar bukit juga menggeleng tidak melihat Raina. Revan mencoba tenang, meringankan pikirannya yang mulai tak tenang. Rasa khawatir timbul begitu saja. Dia segera berlari menuruni tangga dari bebatuan yang sengaja dibuat petugas sebagai jalan menuju kota.

Revan mencoba berhenti sejenak. Kakinya mulai kelelahan karena berlari tanpa tujuan, keringat pun membanjiri sekujur tubuhnya. Dia mencari alternatif lain, memikirkan tempat mana yang biasa didatangi Raina. Namun Revan merasa hal itu percuma. Dirinya belum lama mengenal Raina, percakapan mereka pun singkat-singkat. Walaupun telah menjadi teman sekelas selama hampir tiga tahun, ternyata dia tak mengenal apapun tentang gadis itu.

Revan terduduk di jalanan. Gedung-gedung tinggi yang disambar badai belum pulih, hanya dua puluh persen yang masih berdiri tegak. Jalan raya dipenuhi lumpur bekas banjir kemarin, meninggalkan sampah.

Karena kelelahan, Revan menjadi tak mempedulikan lalu-lalang kendaraan. Sesekali hampir tertabrak mobil yang melintas. Bahkan dia tak menyadari bahwa di seberang jalan ada taman kota. Tempat Revan dan ibunya makan es krim.

Bayangan ibunya lenyap, diganti tatapan tajam mengarah pada gadis yang tengah bergurau dengan anak-anak.

"RAINA!"

Gadis itu menoleh, membiarkan Revan menghampirinya.

"Bodoh! Sedang apa kamu disini?"

"Mencari angin, bosan melihat kehancuran kota dari atas bukit terus," sahut Raina santai.

Revan membiarkannya tetap bermain dengan anak-anak itu, bercanda, berlarian di tengah taman yang kini tanpa bunga. Taman itu menjadi polos, tanpa warna. Kupu-kupu dan capung sudah tidak hinggap di setiap bunga yang mekar. Tak ada tanaman yang hidup setelah badai kemarin. Semua dilahap banjir, hanya bangku taman berwarna putih, cat bangku itu juga mengelupas terkena air.

Sekolah masih diliburkan, sambil menunggu perbaikan gedung sekolah agar bisa digunakan kembali. Listrik masih terbatas, hanya disediakan untuk tempat pengungsian saja.

"Bagaimana dengan olimpiade matematika mu?"

"Aku tidak tahu. Jika keadaan sudah membaik, pihak sekolah pasti tetap menggelar olimpiade-nya."

Kini mereka saling bungkam, menatap jalanan kota. Memperhatikan tawa renyah anak-anak kecil di tengah taman.

***

"Rain."

Raina melirik Revan, "apa?"

"Aku tidak memanggilmu," sahutnya, "sepertinya aku mengerti kenapa kamu diberi nama itu."

Belum sempat Revan melanjutkan ucapannya, Raina memotong, "karena dulu ibuku menyukai hujan."

Revan mengerutkan dahi, tidak mengerti. Padahal pikirnya yang menyukai hujan adalah Raina sendiri.

"Hujan itu musuhku."
Kini ganti Raina yang menaikkan salah satu alisnya.

"Setiap tetesan air itu datang, yang dibawa bukan kebahagiaan. Tapi sebaliknya." Ujar Revan, "setiap kejadian sedih atau senang selalu terjadi saat hujan, dan saat semua telah berlalu, datangnya hanya menyisakan rindu."

Raina semakin bingung dengan arah pembicaraan ini.

Sementara Revan merasa tak sanggup bila terus menutupi rasa sakit yang ia pendam sejak dulu. Tentang kecelakaan pesawat yang menewaskan ibunya. Sebab mengapa ia selalu sendirian di sekolah, sebab mengapa selama ini Revan menjadi laki-laki paling dingin di kelas.

Hujan Dan Kamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang