#10

13.2K 1K 26
                                    

Asistenku, Emery mengintip ke ruanganku tanpa mengetuk saat Senin pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asistenku, Emery mengintip ke ruanganku tanpa mengetuk saat Senin pagi. Hal itu sudah biasa dilakukan wanita pirang yang sudah bekerja denganku selama setahun lebih. Sialnya dia tidak bisa diperingatkan, kabar bagusnya adalah aku memang tidak pernah berpikir melepaskan hasrat di kantorku. Meski selama beberapa jam pertama saat Emery menjadi asistenku, aku yakin aku harus membawanya ke tempat tidur―bukan di kantor, sudah jelas. Namun Emery merasakan hasratku secara terang-terangan, seolah aku mengekspos gairah di depan wanita pirang cantik dengan pinggul sempurna.

"Maaf, Sir. Aku lesbian," kata Emery saat itu. Ia meringis menatapku seolah hasrat seksualku membuatnya bergidik.

Ada rasa kecewa ketika aku mendengar kenyataan itu darinya. Maksudku, dia cantik. Aku dan dia bisa jadi bermain bos dan sekretaris (meski kenyataannya memang demikian), tapi baguslah bahwa aku tidak perlu merasa bersalah karena aku bisa jadi bosan padanya. Toh, dia bekerja padaku. Aku tidak percaya selama sedetik pikiran meniduri asistenku cukup bagus.

Emery lesbian sungguhan. Ia kerap membawa pacarnya yang tak kalah cantik darinya. Dan yah, mereka berdua baik, cantik, sama-sama asisten yang kompeten (kudengar begitulah, karena pacar Emery, Ava bekerja lima blok saja jauhnya dari kantor). Aku tidak ragu terlibat pertemanan dengan mereka. Tapi Natalie, itu masalah tersendiri.

Ah, aku melakukannya lagi.

"Nathan?" panggil Emery saat merasakan ketidakfokusanku. "Mau kopi?"

"Ya, Em. Trims." Meski aku juga tidak yakin kafein bisa membantu. Aku bahkan tak yakin apa yang bisa mengalihkan pikiranku dari Natalie.

Emery datang beberapa menit kemudian, membawa secangkir kopi yang mengepul. Dia jelas tahu seleraku, meski aku tidak sedang berselera dengan kopi. Aku hanya memandangi kopi, namun tersadar Emery memperhatikanku, aku kembali menekuri laptop. Aku tidak yakin apa yang kulakukan.

"Jadi... kau siap dengan presentasinya?" tanya Emery basa-basi.

Presentasi. Oh, sial, aku memang punya presentasi.

"Kita sudah melakukan segalanya. Riset kita cukup. Kita telah memberikan yang terbaik. Aku bisa lembur malam ini kalau kau butuh bantuan atau sesuatu."

"Emery, pernahkah kau berpikir soal... um, sesuatu yang sebenarnya bukan urusanmu tapi entah bagaimana kau merasa terlibat jadi kau tidak bisa mengabaikannnya?"

Emery terlihat bingung sesaat. "Mm... yah, itu... agak membingungkan sebenarnya. Mengapa kau merasa terlibat padahal itu bukan urusanmu?"

Nah, kenapa dia melontarkan pertanyaan yang telah menjadi pertanyaanku selama berhari-hari? "Well, aku tidak tahu."

"Apakah ini soal presentasinya? Misalnya, kenaikan jabatan ini sebenarnya bukan urusanku karena kau yang akan naik jabatan. Tapi aku merasa bertanggung jawab atau semacamnya? Karena untuk yang satu itu, aku punya penjelasannya. Aku asistenmu dan aku bekerja padamu. Lagipula, kau bos yang lumayan. Cukup tampan meski aku lebih banyak bersyukur bahwa aku tidak menyukai batang."

Another Night to RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang