#7

15.5K 1.1K 34
                                    

Kening Greg berkerut dan alisnya bertaut serius. Aku senang memandangnya saat sedang serius. Ia adalah pria paling fokus yang pernah kukenal. Ia juga ambisius dan pantang menyerah. Satu dari banyak alasanku mengapa mencintainya mungkin adalah hal itu. Tetapi sejak Greg mengejar karirnya secara gila-gilaan, aku merasa diriku memudar. Tidak ada lagi perhatian, tidak ada lagi sikap manis, tidak ada lagi Natalie adalah segalanya. Karirnya kini juga menjadi prioritas.

Namun saat ini, itu bukan masalah lagi, karena Greg sudah kembali. Aku berada di pangkuannya, kepalaku di pahanya, tanganku membelai dadanya yang telanjang. Dia sedang bermesraan denganku... dan laptopnya. Ia melirikku sekali ketika dadanya bergetar dan geraman di kerongkongannya terdengar lirih. Ia jelas tergoda dengan jari-jariku. Aku merasa senang karena menang, berhasil mengalihkan perhatiannya. Aku terkikik melihatnya memicingkan mata dengan serius, penuh peringatan padaku.

"Jangan coba-coba, Nat," katanya. Kemudian dia kembali pada laptopnya, meninggalkan satu belaian di puncak kepalaku. "Aku harus menyelesaikan ini."

"Well, aku juga merasa harus menggodamu."

Mata Greg berkilat-kilat saat mengalihkan pandangan dari laptop kepadaku. Ia menggeser laptop dan meja gesernya. Menarik tubuhku mendekat dan memberikan belaian ringan yang menyenangkan. "Kapan kau akan berubah, hm?"

Aku mengangkat tubuh dengan satu lenganku. Kemudian mengaitkan kedua lengan di lehernya. Aku menghirup aroma tubuhnya yang maskulin dan kurindukan. Aku masih tak percaya dia sekarang ada di sini, di sofa yang sama denganku setelah berbulan-bulan hubungan kami yang terasa dingin dan senyap. "Kau ingin aku berubah?"

"Karena menggodaku?" Greg terkekeh. "Tidak. Aku menikmatinya. Pada saat-saat tertentu, tentu saja. Tapi aku sedang mengerjakan proposal. Timku harus bisa menyambar proyek ini."

"Greg, ini hari Sabtu," tegurku. "Bersantailah sesekali."

Greg mengecup keningku sekilas. "Itu sebabnya aku di sini. Kita akan bersenang-senang nanti. Biarkan aku menyelesaikan ini dan kita akan punya hari Minggu. Kita bisa lari pagi, lalu sarapan, persis seperti dulu."

Hal itu terdengar menggiurkan. Hari Minggu yang normal milikku dan Greg akan berjalan seperti itu. Aku nyaris melupakan bagaimana menyenangkannya kegiatan hari Minggu seperti itu. Rasanya sudah bertahun-tahun tidak melakukan itu. Padahal memang begitulah keadaannya.

Namun aku merasakan kegundahan ketika melihat hanya akan mengulang-ulang sesuatu yang ada. Hubungan kami masih begini saja. Aku mungkin telah mengalami ratusan kali lari pagi di hari Minggu bersamanya. Aku juga telah menjadi kekasihnya selama lima tahun ini dengan rutinitas yang diulang-ulang tanpa ada perbedaan. Satu-satunya perbedaan signifikan hanya saat ia berhadapan dengan pekerjaannya―mimpinya. Aku akan terabaikan. Itu bukan sesuatu yang kusyukuri.

Aku ingin perubahan. Aku ingin hubungan ini bergerak maju. Aku tidak mau kehilangan Greg. Dia sudah kembali, dia di sini, dan ini saatnya mengatakan apa yang kupikirkan.

"Greg, aku ingin membicarakan sesuatu," kataku hati-hati.

Greg tidak meraih laptopnya yang masih menyala, tapi perhatiannya separuh teralihkan pada ponsel pintarnya. "Bicara saja." Ia masih mengetik dengan serius. Sama sekali tidak menatapku.

Kedua tanganku meraih wajahnya, memaksanya menatapku. Greg terkejut karena itu. Ia menyelipkan ponsel ke sakunya ketika menyadari apa yang kuinginkan. Aku ingin dia mendengarkan. Sekali ini. Tanpa gangguan pekerjaan sialan.

"Ayo kita tinggal bersama," kataku dengan tekad bulat. Ya, itulah yang kuinginkan. Greg mungkin akan membagiku dengan pekerjaannya. Aku mungkin bisa mengatasi masalah jarang bersama apabila tinggal dengannya. Setidaknya aku bisa melihatnya setiap hari. Aku mempunyai pekerjaan dan begitupun dirinya. Kami juga akan tetap berhubungan―dengan harmonis. Semuanya mungkin akan membaik.

Another Night to RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang