#5

20.4K 1.2K 42
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kami berakhir di karpet ruang tengah dengan tubuh telanjang total. Nate mendengkur di sampingku. Miliknya masih berada di dalam diriku. Aku merasa penuh, lembab, dan puas. Tentu saja aku lemas, tapi aku sebisa mungkin mengumpulkan segenap tenagaku untuk beranjak demi mengakhiri malam ini. Meski tubuhku meragukan keputusanku sendiri.

Tubuh Nate menggiurkan dan aku telah melampiaskan enam bulan terkutuk tanpa seks, semuanya terbayar dalam waktu kurang dari empat jam. Ini jelas menyalahi aturan kencan semalam karena kami tidak bermain sepintas, kami bermain berkali-kali. Sebentar lagi fajar akan tiba, yang artinya kami tidak hanya bermain di malam hari.

Aku harus bergegas. Aku menggeser tubuh telanjangku yang berada dalam dekapannya. Nate mendengus sesaat ketika merasakan gerakan singkat di lengannya. Masalah terbesarnya adalah bagaimana aku bisa mengeluarkannya dari diriku. Aku beringust menjauh dari tubuhnya. Meringis ketika milik kami terpisah, meninggalkan sensasi menyenangkan yang tak ingin kuakui. Nate mengernyit dan matanya bergerak hingga terbuka perlahan.

Kadang-kadang aku berpikir para pria memang punya dua otak dalam diri mereka. Salah satunya di kejantanan mereka.

"Kau mau ke mana?" kata Nate dengan suara serak yang―lagi-lagi tak mau kuakui―seksi.

Aku merasa seperti pencuri yang baru tertangkap basah. Otakku mengalami arus pendek yang mengganggu jalanku untuk berpikir. Aku tidak bisa memikirkan alasan yang bagus. Akhirnya aku hanya menghela napas dan mengaku. "Aku mau pulang."

Nate terbeliak hingga raut sayunya menghilang. Ia mengambil posisi duduk dan itu bukan efek yang baik untukku. Mengingat betapa kuatnya dia, betapa kencangnya, betapa memuaskannya. "Apa..." Dia berdeham, hingga aku bersumpah kakiku bergetar. "Apa aku tidak memuaskanmu?"

Apa? "Oh! Tidak!" sahut cepat-cepat. Orang ini sungguhan? Aku tidak tahu mengapa membantah. Tapi kupikir ini lebih seperti pernyataan terima kasih tersirat. Mungkin dia memahaminya karena dia memecahkan keterpurukanku setelah enam bulan tidak bercinta. Atau mungkin dia tidak paham apapun. Tapi aku cukup terkejut ia kehilangan kepercayaan dirinya padahal dirinya lah yang menawarkan malam terbaik untukku. Ia juga menepatinya dengan sangat baik. "Maksudku, um, aku punya urusan pagi ini."

"Kau punya urusan di akhir pekan?"

Astaga, berhentilah bertanya. "Um, tidak―maksudku, ya. Aku sepertinya melupakan sesuatu soal rapat sambil sarapan santai di akhir pekan. Well, itu tidak terdengar seperti rapat tapi itu memang rapat. Sumpah, itu rapat. Atau kupikir nantinya akan berakhir menjadi rapat." Astaga, Natalie, berhentilah bicara. "Pokoknya, itu rapat."

Nate mengangguk dan wajah muramnya pudar seketika. "Oke. Aku percaya itu rapat."

"Itu memang rapat."

"Aku tahu itu rapat. Rapat akhir pekan, kan?"

"Persis."

"Mau bercinta lagi?"

Another Night to RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang