Si Brengsek itu benar-benar tidak datang. Tak peduli dengan ancaman kekanakan yang kucetuskan, ia tetap tak datang. Aku telah duduk di sini sendirian selama kurang lebih empat jam seperti seorang idiot dengan bergelas-gelas Cosmo yang telah kuhabiskan, sementara orang-orang mulai menatapku dengan tatapan aneh dan aku mulai gusar sehingga memelototi mereka. Kepalaku pening dan aku mulai mengkhawatirkan bagaimana caraku pulang karena aku menyetir sendiri ke klub di pinggiran yang sangat jauh dari apartemenku.
Sialan pada inisiatifku yang mencetuskan untuk memilih klub ini karena tempat ini adalah klub terdekat dari tempat kerja Si Brengsek. Ini semua kulakukan karena orang itu mulai membual soal pekerjaan menggunung yang didapatnya selama enam bulan terakhir sehingga kehidupannya hanya berkutat di kantor—yang tak pernah kudengar namanya kecuali dia yang mengatakannya. Dia telah mengabaikanku selama itu, bahkan dia tak kutemukan di apartemennya. Dia membalas pesanku secepat-cepatnya seminggu sekali. Awalnya aku khawatir dengan keadaannya, bahkan mengira kalau-kalau dia sudah ditemukan tewas di suatu tempat sebagai korban tak bersalah, tetapi baru-baru ini, aku menyadari hambarnya hubungan yang telah kami jalani selama lima tahun. Jadi, kini, aku menyebutnya Greg Si Brengsek.
Sebelumnya aku tak pernah bersikap menyebalkan seperti ini. Aku hanya berusaha mengerti dengan kesibukannya, apalagi dia lulus lebih dulu dibanding aku. Tapi semuanya menjadi ganjal sejak hari peringatan jadian kami yang ke lima, tepatnya tiga bulan lalu. Dia tak menunjukkan batang hidungnya selama dua bulan, lalu tiba-tiba muncul tiga minggu sebelum hari jadi kami, namun tak datang saat perayaan yang telah kusiapkan dengan susah payah di balkon apartemenku—
Rasanya persis seperti sekarang ini.
Dan perayaan ke empat kami juga pernah menjadi sangat kacau dengan tempramennya yang benar-benar keluar dari batas seorang Greg yang kukenal. Kami bertengkar hebat dan tak pernah separah itu sepanjang tujuh tahun aku mengenal seorang Greg Lancaster.
Tapi sekarang, kupikir tempramenku yang kini tak bisa kukendalikan. Aku sangat marah dan ingin sekali membalikkan meja ini kalau aku bisa. Alkohol mendukungku dan tanganku sudah berjam-jam mengepal untuk mencegah keributan. Melirik ponsel yang sedaritadi tak kunjung berdering, membuatku semakin marah dan semakin berhasrat membuat kekacauan di sini.
Aku bertaruh pelayan bernama Tara, yang sedaritadi menjadi pengantar tetap minumanku, sudah tak mau berurusan lebih denganku. Yang penting, kan, aku sudah memberinya tip.
"Bisakah aku mengambil gelasmu, Ma'am? Atau kau ingin memesan sesuatu? Cosmo, lagi?" Kata terakhir diucapkan Tara dengan penuh penekanan dan aku tak tahu apakah dengan memesan lagi akan membuatnya senang karena bos memujinya mendapat banyak pesanan atau Tara hanya menjadi gusar karena waktunya untuk menggoda pelanggan dengan prospek yang lebih baik menjadi terganggu.
Tapi pertama-tama, aku harus meluruskan ini. "Katakan, Nat. Aku sudah berjam-jam di sini dan kau belum mengingat namaku dengan baik."
Tara mengendikkan bahu. "Jadi, Nat, aku tak keberatan mengambilkanmu Cosmo yang ke enam. Mungkin kau ingin sedikit cemilan untuk mengganjal perut? Kami punya menu spesial yang sangat lezat untuk pukul sepuluh malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Night to Regret
Romance√ Completed √ - N O V E L L A - Bagaimana bisa sebuah kebetulan terjadi di malam yang paling menyebalkan bagi Natalie? Ia bertemu dengan pria paling menarik seumur hidupnya. Tampan, penuh pesona, dan semua kepribadiannya adalah cerminan dari fantasi...