sakit

12 3 0
                                    

Tolong lupakan ucapanku pada taehyung kemarin. Aku benar-benar menyesal telah mengatakan hal semacam itu, kalian harus menggaris bawahi perkataan yang lain, bahwa aku ternyata takut mati. Bukan pada kematiannya, tapi pada hal yang akan terjadi selanjutnya. Dosaku menumpuk bagai gunung, jadi biarkan aku hidup sampai dosa-dosaku setidaknya di pangkas setengahnya.

Lihat? Perkataanku kacau.

Dan demam serta teman-temannya semakin menggila siang ini, padahal di luar cuacanya sangat cerah di musim panas.

Aku melewatinya hanya menggulung diri dengan selimut tebal sambil menunggu ibu mengantar makan siang yang merangkap sarapan. Sayangnya harapan melihat wajah wanita yang paling aku kasihi luntur menjadi wajah pucat kurang ekspresi tertutupi masker.

Hancur sudah selera makanku yang sempat terbit.

"kenapa membelakangi seperti itu? Aku sudah baik hati mengantarkan makanan dan obat meski kau sedang sakit."

Aku menenggelamkan kepalaku kedalam selimut, menghiraukan perkataan yoongi padaku. Aku masih amat sangat kesal dengan si tembok itu. Bahkan aku masih bisa mendengar helaan nafas yoongi dari balik maskernya. Kenapa dia berlebihan sekali sih?

"kali ini aku akan menjelaskannya."

Apa?

Dia... Apa?

Perlahan dengan kepala berdenyut hebat aku paksakan duduk agar bisa melihatnya lebih jelas. Maksudku, yoo ngi akan bicara panjang lebar menjelaskan hal yang katanya kurang penting. Aku harus menandai hari ini!

"aku ada di belakang mu saat kau pergi dari gedung itu dan aku bawa payung, kenapa kau lari?"

Apa buburnya sangat panas? Apa bisa membuat kulit seseorang melepuh? Aku harap bisa. Pasti bisa.

Hati kecilku nyatanya berkata tidak, memihak pada manusia sialan ini. Hati kecil sialan.

"Kau.. Apa? Di belakang?!"

Kepalaku rasanya akan pecah hingga berhamburan dan potongan-potongan kecilnya mengenai wajah pucat yang paling aku benci saat ini. "tolong keluar."

"okeh, tapi habiskan buburnya dan cepat sembuh."

Dia tidak kembali hingga aku sembuh, artinya tiga hari tanpa menginjakan kakinya kerumahku.
Aku tidak tau ini baik atau buruk yang pasti aku sedikit khawatir dengannya.

Iya, hanya sedikit.

Ibunya sangat sibuk dengan pekerjaanya karena beliau orang tua tunggal, mengurus yoongi seorang diri itu tidak mudah, apalagi pemalas seperti dia.

"memikirkanku ya?"

Air dalam mulutku menyembur begitu saja kearah wajah yoongi. Tentu  aku terkejut, dia tiba-tiba saja menghalagi pandanganku ketika berbalik setelah mengambil air minum.

"jadi sambutan dari mu ini ya setelah tidak lama bertemu?"

"ada apa pagi-pagi buta seperti ini di dapur rumahku?" dia mulai dengan aksinya mengobrak-abrik lemari pendingin, sambil mengeluarkan bahan makanan.

"membuat ramen."

"sepagi ini?"

"salah ya?" melihat yoongi yang seperti malas meladeniku akhirnya aku menyingkir dari dapur, malas rasanya berbagi oksigen dengan manusia yang hanya akan mengencani kasur, bantal dan guling setiap saat.

Sebelum aku pergi, aku merasakan yoongi menyentuh pundak ku sekilas. Jadi aku berbalik menatap wajah bantalnya.

"omong-omong namjoon bilang ingin membaca naskahmu, karena kemarin kau tidak jadi datang dia yang akan kemari nanti siang."

Sialan.

Seharusnya aku tidak usah menerornya semacam itu. Sejujurnya aku sedikit takut bertemu dengannya, kami punya masa lalu yang kurang menyenangkan. Ini semua keterpaksaan diriku yang membutuhkan seseorang agar segera menerbitkan naskahku. Seharusnya aku tidak usah tergesa-gesa, seharusnya...

Penyesalan tidak akan menyelesaikan semuanya akhirnya dengan suara kelewat tenang aku berkata "oh, oke. Aku akan print ulang naskahnya."

Lalu aku pergi dengan jantung sulit dikendalikan. Aku harap sesuatu yang buruk menjauh terlebih dahulu dariku.

Aera And Her WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang