Bagian 11

11.7K 748 64
                                    

Dua hari yang lalu akad pernikaham kak Al dilaksanakan. Aku sungguh dibuat repot oleh kak Al, dia terlalu banyak maunya bahkan aku dan Qila diminta kesana-kemari untuk mengurus keperluannya. Ah pusing..., kalau punya kakak tiga seperti kak Al, aku bisa mati berdiri saking repotnya. Tapi tak mengapa, kak Al itu kakak tersayangnya aku apapun yang kak Al pinta akan aku lakukan sesuka hati asal kak Al bahagia.

Meskipun rasa sesal masih sering menyergapku, aku tetap tidak boleh berlarut-larut menyalahkan diri sendiri bahkan sampai meratapi kepergian Dion. Memang awalnya aku tidak ikhlas, tapi kak Al dan Bunda selalu memberiku semangat hingga aku merasa Dion telah tenang di sisi-Nya. Aku titip rindu untuk Rasulullah kita Di. Sumpah demi Allah, aku benar-benar merindukan Rasulullah. Tidak terasa buliran bening menggenang di kelopak mataku dan siap meluncur ke pipi, dengan cepat kuseka air mata itu.

Kini giliran akad pernikahan Adiba, jujur aku tidak ingin datang karena pernikahan itu hanya akan menyakitiku tapi jika aku tidak datang Adiba pasti kecewa. Bismillah...,  dengan berat hati kuputuskan untuk datang bahkan hatiku berdenyut sakit. Kusembunyikan mata sembabku dibalik make up tipis, kupasang senyum palsu. Cukup sudah kebohongan hari ini. Hari yang diawali dengan kebohongan-kebohongan kecilku. Semoga lautan kecil di mataku tidak berontak mengombak lalu keluar dari tepiannya.

Tepat pukul tujuh pagi akad nikah Adiba dimulai dengan disaksikan para tamu undangan. Aku duduk di samping Adiba, wajah Adiba terlihat sangat cantik dengan polesan make up naturalnya. Balutan gaun syari dan mahkota kecil di kepalanya membuatnya tampak anggun. Jika kuperhatikan dengan saksama Adiba dan kak Ilham sedikit mirip.

Aku menarik napas dalam kemudian mengembuskan kembali. Tiba-tiba dadaku sesak saat kak Ilham mengucapkan ijab qobul dengan menyebut nama Adiba di bibirnya bukan namaku. Nyatanya aku hanyalah tamu undangan dengan menyaksikan sendiri lelaki yang kucintai bersanding dengan sahabatku. Nyatanya cinta itu hanya aku yang merasakan.

Adiba berdiri dari duduknya tangannya meraih tanganku kemudian tersenyum. "Temenin aku turun ya Kay," pintanya.

Aku tersenyum getir. Dengan susah payah kutelan salivaku, sudah cukup rasanya kurasakan pahitnya patah hati, nyatanya masih tidak cukup sampai di sini. Adiba memintaku untuk mengantarnya duduk di samping kak Ilham. Apakah aku sanggup melakukannya? Apakah hati ini kuat menyaksikan hal itu? Oh Allah..., bantu hamba kuatkan hati ini.

Setelah mengantar Adiba, aku beringsut dari sampingnya. Kak Ilham tidak sedikitpun menoleh ke arahku, dia hanya menatap Adiba dengan senyum tipisnya. Hatiku kembali berdenyut sakit saat melihat sendiri kak Ilham mengecup kening Adiba. Mataku fokus melihat sepasang kekasih halal itu. Kini aku hanyalah benalu di hidup kak Ilham, aku hanyalah sampah yang hendak ia buang jauh-jauh. Ingin kutumpahkan semua rasa yang menyesakkan dada ini.

Oh Allah..., ini sungguh menyakitkan.

Aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu, buliran bening mencelos begitu saja dari kedua sudut mataku. Sungguh tidak sanggup. Aku memisahkan diri dari kerumunan banyak orang, berjalan dengan langkah gontai di dalam derasnya hujan. Air mataku mengalir deras bersamaan dengan derasnya air yang jatuh dari langit. Langit seakan ikut merasakan luka di hatiku.

Tanpa peduli dengan dinginnya air yang terus menetes membuat tubuhku basah kuyub. Aku terus berjalan membelah kesunyian, gemercik hujan menjadi nada indah mengiringi langkah kakiku. Ingin rasanya aku berteriak melepaskan sesak di dada.

Ya Allah..., mengapa rasa ini hadir jika hanya untuk disakiti?

Mengapa tidak Engkau tarik saja rasa ini? Ya Allah..., mengapa mengikhlaskan itu menyakitkan padahal Engkai telah menjanjikan pahala yang teramat besar? Hamba mohon ya Allah..., ambillah rasa ini rasa yang menyesakkan dada.

Aku terduduk di trotoar sambil memeluk kedua lututku, duduk di dalam hujan merasakan sakit yang tak kunjung hilang melepas penat di hati berharap Allah menyembuhkan luka dan rasa sakit yang mendera.

Sepertinya seseorang memayungiku, air hujan yang tadinya membasahi tubuhku kini terhalang sesuatu yang kuyakini itu adalah payung. Kudongakkan kepalaku melihat siapa gerangan yang telah memayungi tubuh menggigilku. Aku menatap wajah itu dan dia membalas tatapanku. Dia, kak Faiq, dia memayungi tubuh menggigilku.

Kutundukkan kembali wajahku menatap rintikan hujan, meluncurkan kembali air mata yang menggenang. Bayangan akan pernikahan kak Ilham masih menghantuiku, sangat jelas ciuman hangat itu bergelayut manja seakan mengejekku.

"Berhentilah menangis. Saya akan mengantarmu pulang," katanya kemudian membantuku bangun dari posisi dudukku, dia membukakan pintu mobil untukku.

Selama perjalanan pulang keadaan hening, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya begitupun aku. Lima belas menit kemudian kami sampai, aku hendak keluar dari mobil kak Faiq namun urung saat dia mengucapkan sesuatu yang membuatku terperangah.

"Izinkan saya menjagamu."

Refleks aku langsung menolehnya, mata kami beradu menciptakan satu garis lurus. Dari matanya nampak keseriusan. Sungguh kak Faiq membuatku bingung. Apa yang dia bicarakan? Menjagaku? Untuk apa? Aku bisa menjaga diriku sendiri tanpa dia. Dan bukankah aku sudah bilang tidak perlu mengikutiku lagi, aku bukan anak kecil yang perlu pengawasan extra dari orang tua maupun kakak sekalipun.

"Izinkan saya melindungimu, menjadi tempat bersandarmu, menjadi tempat berkeluh kesahmu," dia diam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. "Izinkan saya menjadi Ayah, kakak, adik, sahabat untukmu. Beri saya satu kesempatan untuk mengusap air matamu," timpalnya lagi.

Lagi-lagi aku menatapnya tak percaya, ini bukanlah permintaan seorang kakak melainkan seorang pria kepada wanitanya. Aku menarik napas dalam.

"Kak, Kay----

"Izinkan saya menjadi tulang punggung bagimu Kayla," potongnya, sungguh aku benar-benar dibuat terkejut. Kutelan salivaku dengan susah payah. Kak Faiq membuatku kehilangan pasokan oksigen. Lidahku kelu, sekedar mengucap sepatah katapun aku tidak mampu. Dia melamarku. Apakah ini alasannya menjadi bodyguard setiap hari? Apakah ini alasannya membuatku jengkel setengah mati?

Ya Allah..., mengapa yang datang bukan dia yang kucintai?

🐇🐇🐇

Assalamu'alaikum.
Saya datang kembali membawa Kafa😄 tinggal beberapa part lagi kalian akan dibikin baper sebaper-bapernya gaes😂
Oke gitu aja kamis menjelang jum'at selamat membaca Al Kahfi😘
Sayang kalian😘
Ayok voment dan votenya jangan lupa.

***

14.46

19.07.2018

Kamulah Takdirku (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang