Bagian 2

23.7K 1K 42
                                    

Yang bernyawa pasti akan kembali. Ruh takkan selalu bersemayam dalam jasad. Pun kaki tak melulu berpijak pada bumi. Tinggal bagaimana cara kita menjemputnya mau dengan cara benar atau salah.

                              ❤❤❤

    
Muhammad Faiq Akbar Syam

***

Kuhempaskan tubuhku dengan kasar di atas tempat tidurku. Mataku menatap langit-langit kamar, rasa lelah menggelayuti tubuhku membuatku enggan beranjak dari posisi berbaringku bahkan perutku yang memanggil akan kepuasannya tak kuhiraukan. Terlalu repot untuk bangun lagi sekedar mengambil makanan memenuhi keinginannya.

Otakku terus berpikir, memikirkan kegagalanku di ruang operasi menyebabkan salah satu nyawa dari sekian pasien yang ku operasi melayang begitu saja.

Maut telah bersanding dengannya, meskipun aku tahu kematian adalah takdir yang mutlak dan operasi yang kulakukan adalah salah satu jalan ia menjemput ajal. Tapi tetap saja rasa bersalah enggan enyah dari hatiku.

Aku memijat-mijat kepalaku mengurangi rasa sakit yang menghantam saraf-saraf otakku. Perlahan pandanganku mulai buram, mataku kini meredup begitu saja. Rasa kantuk menyerangku membuatku terlelap menyapa alam bawah sadarku. Semoga saja mimpi indah bertemu bidadari Allah.

Sayup-sayup kudengar teriakan kecil memanggil namaku. Serasa ada yang menggoyang tubuhku. Perlahan kubuka mataku, dari balik kelopak mata aku melihat Bunda, wajah Bunda masih terlihat samar. Bunda duduk di sampingku. Bunda tersenyum manis.

"Ada apa Bunda? Tumben ke kamarku?" tanyaku sembari mengumpulkan sebagian nyawa yang hilang entah kemana.

"Mau melihat anak Bunda tidur atau pingsan dari tadi nggak bangun-bangun," jawabnya.

"Yah..., Bunda sama anak sendiri gitu amat."

"Habis jam segini masih ngorok..., tuh lihat senja sudah menyapa. Adzan sebentar lagi berkumandang. Cepat sana mandi terus shalat."

Kuambil jam yang bertengger di meja samping tempat tidurku. Waktu menunjuk pukul lima lebih empat puluh menit. Aku meloncat dari tempat tidurku berlari lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dalam hati aku beristighfar berkali-kali. Untung saja Bunda membangunkanku jika tidak, aku bisa ketinggalan shalat maghrib.

Selesai mandi aku mencari handuk namun tidak juga ketemu. Kucari di westafel tidak ada. Yah.... Ya iyalah tidak ada, itukan bukan penyimpanan handuk. Kucari lagi digantungan tidak ada juga. Lah..., Bagaimana caranya aku keluar kalau handuk saja tidak ada.

Kuacak rambutku dengan kasarnya. Jika aku keluar bisa jadi Bunda masih di kamarku, jika tidak keluar bisa berjamur disini. Ah..., Bodo, aku keluar aja deh. Tapi..., Jangan! Kalau Bunda diluar gimana? Bisa mati dipukulin. Aduh.... Frustasi gue.

"Bunda," akhirnya kuputuskan meminta Bunda untuk mengambilkan  handukku.

Tidak ada jawaban dari Bunda sepertinya Bunda sudah keluar dari kamarku. Kubuka daun pintu kemudian menyembulkan kepalaku melihat sekeliling kamar. Tidak ada Bunda disana.

"Ada apa Iq?" wajah Bunda menyembul dari ruang ganti membuatku mengelus dada karena kaget.

"Aku lupa bawa handuk Bunda. Bisakah Bunda mengambilkannya untukku?" tanyaku sesopan mungkin. Tidak baik juga menyuruh orang tua tapi mau bagaimana lagi. Ini benar-benar urgent.

"Nih." Bunda mengulurkan handuk di tangannya. "Cepat selesaikan mandimu. Terus shalat."

"Siap Bunda."

Kamulah Takdirku (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang