Fourth

3K 461 5
                                    

Auckland, New Zealand.

Pagi itu June sudah berada di Aucland International Airport, bersiap untuk berangkat terbang ke Incheon. Sebelum memasuki ke tempat pengecekan paspor, June duduk terlebih dahulu di kursi tunggu, menyimpan kopernya lalu menatap lekat ponsel yang sedang ia pegang. Jarinya mulai kembali menekan tombol panggilan untuk kesekian kalinya, namun tetap saja hasilnya sama, tidak ada jawaban.

Ia pun melihat daftar kontak di ponselnya lalu memutuskan untuk menelepon kontak bernama Jennie.

"Halo, Jun?"

"Jen, kau dimana? Apa Rose bersamamu?"

"Iya, dia sedang bersamaku, tapi dia masih di dalam kamar, belum keluar. Sepertinya dia belum bangun. Ada apa?"

"Apa terjadi sesuatu? Dia tidak mengangkat teleponku sejak kemarin. Juga, aku masih penasaran, apa yang membuatnya terburu-buru ke Seoul tanpa berpamitan denganku? Apa ada masalah?"

"Ah, June, maaf kami belum memberitahumu. Sebenarnya, kemarin adalah hari pemakaman ibu Rose, mungkin karena itulah Rose tidak mengangkat teleponnya."

"Apa? Ibu Rose? Ibu yang pergi selama dua belas tahun itu? Dan dia sudah meninggal? Ya ampun, aku turut berduka."

"Iya, mungkin perasaan Rose sedang campur aduk sekarang. Dia juga tidak bicara denganku sejak pulang dari pemakaman kemarin. Apa ada pesan yang perlu kusampaikan padanya?"

June terdiam sejenak. Ia sedikit kecewa karena Rose sama sekali tidak bercerita padanya. Ya, mungkin benar kata Jennie, perasaan Rose masih campur aduk. Mungkin Rose juga bingung apakah harus bercerita pada June atau tidak, lagipula June memang tidak mengenal ibu Rose.

"Bila dia sudah keluar nanti, bilang saja aku baru akan berangkat ke Incheon pagi ini."

"Really? Wah, senangnya akhirnya kita bisa berkumpul di Seoul nantinya. Baiklah, akan kusampaikan pada Rose. Ada lagi?"

"Sampaikan padanya, I will always love you, no matter what happen to you."

Terdengar suara terkekeh pelan dari Jennie. "Okay, akan kusampaikan. Akan kupastikan dia tahu seberapa besar cintamu itu."

"Ok, terimakasih, Jen."

"Bye, see you in Seoul."

"Bye."

June mengakhiri panggilan lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

"It's okay, Rose. Take your time."

-

Seoul, South Korea.

"Rose?"

Jennie memanggil rose sambil mengetuk pintu kamar gadis itu yng belum terbuka sejak pagi.

"Rose, ayo sarapan. Rose?"

Sudah berkali-kali Jennie mengetuk tapi tetap tidak ada jawaban. Di dalam kamar, Rose terlihat berbaring dengan selimut yang hampir menutupi seluruh badannya. Ia tidak tidur, bahkan ia tak bisa tidur. Banyak sekali pikiran yang memenuhi kepala Rose. Tetapi, suara Jennie yang terus-menerus memanggilnya diiringi ketukan pintu cukup menggangunya. Akhirnya, Rose pun memutuskan untuk keluar kamar karena ia mulai merasa lapar.

Cklek.

"Rose? Apa yang terjadi?"

Jennie terkejut melihat Rose. Rambutnya berantakan, dress hitam yang digunakannya saat pemakaman ibunya masih ia pakai, matanya pun terlihat berkantung, menandakan ia tidak tidur semalaman.

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang