Twenty Second

2.8K 427 10
                                    

Rose berjalan keluar dari kamarnya dengan mengendap, sepelan mungkin agar suara langkahnya tidak terdengar. Tetapi saat pintu keluar sudah di depan mata, suara langkah kaki lain di belakangnya terdengar, membuat Rose terpaksa harus berhenti lalu berbalik.

"Mau kemana lagi, Rose?"

Mendengar suara Justin membuat Rose menghela napasnya. Padahal ia tidak ingin Justin memergokinya.

"Aku, aku mau ke rumah sakit."

"Lagi? Bukankah kau sudah menjenguknya dua kali?"

Rose menunduk. Ia sudah mengira pasti Justin akan bertanya begitu. "Tapi keadaannya belum membaik, Justin, dan aku masih perlu membantunya."

Justin tersenyum getir. "Kau pikir dia akan sembuh jika kau kunjungi tiap hari begini? Yang ada dia hanya akan semakin ketergantungan padamu Rose. Dia tidak akan pernah sembuh."

"Tapi Justin, aku tidak tega melihat June yang kurus dan kehilangan semangatnya."

"Kau khawatir?"

"Aku khawatir sebagai teman. Aku tidak sejahat itu membiarkan temanku yang sakit dan membutuhkanku."

"Kalau kau peduli padanya, jelaskanlah padanya bahwa kau sudah tidak bisa lagi mendatanginya. Kau sudah punya aku, beritahu dia, Rose. Dengan begitu, dia akan belajar menerima kenyataan."

Rose yang masih berdiri itu kemudian duduk di kursi tamu diikuti Justin di sampingnya.

"Tapi bagaimana caranya? Bagaimana kalau depresinya kambuh lagi? Bagaimana bila ia drop lagi? Aku tentu harus kembali menjenguknya, kan?"

Justin menggeleng, "tidak, justru jika kau menjelaskannya baik-baik dan tidak lagi menemuinya, dia akan belajar menerimanya, Rose. Percaya padaku."

-

"Rose!"

Tergambar raut antusias di wajah June begitu ia melihat Rose muncul dari balik pintu ruangan rawat inapnya.

Rose membalasnya hanya dengan senyuman tipis lalu berjalan menuju tempat duduk di samping ranjang.

"Rose, tahu tidak? Dokter bilang aku bisa pulang lusa. Aku senang sekali memdengarnya, kau juga senang kan?"

Melihat mata June yang berbinar membuat Rose mendadak teringat ucapan Justin. Rose bisa melihat dengan jelas bahwa saat ini June pasti tengah berpikir bahwa Rose telah kembali padanya.

"June,"

"Hm?"

"Setelah kau keluar dari rumah sakit nanti, berarti aku tidak perlu menjengukmu lagi, kan?" Tanya Rose, yang sukses merubah ekspresi wajah June.

"Ke-kenapa?"

Rose memutar otaknya, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semuanya pada June. Ia tidak mungkin bila harus menjenguk June setiap hari sementara ia sudah mempunyai kekasih.

"Aku tidak akan mungkin bila harus terus menjengukmu, aku harus memikirkan perasaan Justin."

"Kau, kau kan kekasihku, Rose, kenapa perlu memikirkan perasaan dia?"

Rose menghela napas. Ia sudah tahu June akan bicara begini, tapi ia tetap harus menegaskan semuanya pada June, agar lelaki itu juga bisa melupakan dirinya.

Tetapi, baru saja Rose hendak berbicara lagi, tiba-tiba saja June tersenyum tipis.

"Baiklah Rose, aku mengerti," ujar June. Tatapan matanya kini terlihat berbeda.

"June? Kau,"

"Aku tidak depresi, Rose. Aku baik-baik saja." Kini senyuman June terlihat tulus.

"Jadi kau selama ini,"

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang