Twenty Third

3.4K 433 17
                                    

"Rose, cepat sedikit, kenapa lama sekali?" tanya Jennie yang sudah siap untuk masuk ke dalam mobil namun harus kembali masuk ke dalam rumah Justin.

Seolah tidak mengindahkan perkataan Jennie, Rose terus saja berjalan mondar-mandir seolah mencari sesuatu. Tergambar jelas raut kebingungan di wajahnya. Sesekali ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. 

Sementara itu, Justin yang sudah duduk di kursi kemudi pun memutuskan untuk kembali turun dan ikut menyusul Jennie, meninggalkan James sendirian di mobil. Sampai di dalam, ia bisa melihat Rose yang tengah kebingungan seolah mencari sesuatu.

"Mencari apa, Rose?"

Rose yang tengah menggeledah laci meja riasnya itu menghentikan kegiatannya sejenak lalu menatap Justin. 

"Justin, foto ibuku hilang."

"Jadi sejak tadi kau mencari foto ibumu? Aku punya banyak, Rose. Kau tidak perlu khawatir. Kalau kau mau membawanya, aku akan bawakan."

"Bukan begitu, aku punya satu yang bagus."

"Maksudmu?"

"Itu, foto itu, " Rose tiba-tiba tidak bisa melanjutkan perkataannya dan pelupuknya mulai digenangi air mata.

"Hey, ada apa?" tanya Justin yang kini menarik Rose untuk duduk bersamanya di atas ranjang. "Kenapa? Ada masalah? Foto apa yang hilang?"

"Aku tidak pernah punya foto bersama dengan ibu sejak ibu pergi. Karena sekarang kita akan ke Auckland, aku ingin membawa foto itu bersamaku. Temanku berhasil mengedit foto aku dan ibuku, dan hasilnya sangat bagus, aku ingin menunjukkannya pada ayah," Rose mengatur napasnya sejenak, "tapi sekarang aku justru menghilangkannya."

"Ya ampun, Rose." Justin dengan lembut menarik Rose ke dalam dekapannya lalu mengelus-elus pelan punggung gadisnya itu, mencoba menenangkannya. Ia merasa sedikit gemas melihat Rose yang menangis hanya karena hal yang kecil.

"Tidak perlu sedih, aku yakin ayahmu sudah tahu tentang masalah ibumu dan sudah memaafkannya, dia mungkin sudah bertemu dengan ibumu di atas sana. Mereka pasti sudah berbaikan sekarang. Itu kan hanya sebuah foto, wajar kalau hilang. Yang penting kau akan selalu mengenang ibumu, dan ayahmu pasti tahu itu."

Rose tidak membalas perkataan Justin karena sibuk mengatur napasnya setelah tangisannya mereda.

"Bagaimana, kita berangkat sekarang?" tanya Justin yang kemudian diiringi anggukkan oleh Rose.

Justin kemudian berdiri terlebih dulu lalu menggandeng tangan Rose, membawanya keluar dari kamar. Sementara itu, Jennie yang masih berdiri di depan kamar Rose hanya menggelengkan kepalanya. Mereka bahkan tidak ingat ada dirinya di sana.

"Hey, tunggu aku!" seru Jennie sambil menyusul Justin dan Rose.

-

"Wah, senangnya bisa kembali menghirup udara di sini," ujar Rose. Ia tersenyum lalu memejamkan matanya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika mereka baru saja keluar dari Bandara Auckland.

Justin ikut tersenyum melihat wajah bahagia Rose. Ia benar-benar membuat keputusan yang tepat untuk mengajak Rose berlibur ke Auckland, sesuai saran dari James. Rose pasti sangat merindukan kampung halamannya, terutama ayahnya.

"Thanks."

Suara James yang berterima kasih pada seorang supir bayaran itu membuat Justin mengalihkan pandangannya dari Rose.

"Sesuai kesepakatan, aku ingin berkencan dengan Jennie, dan kau juga bisa menghabiskan waktu dengan Rose, jadi aku sudah menyiapkan mobil untukmu dan Rose," ujar James yang kemudian melemparkan kunci mobil yang dengan sigap ditangkap oleh Justin.

Prejudice ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang