Sebelas

1.4K 87 1
                                    

Bogor, kota dengan udara yang sejuk. Namun, baru beberapa minggu aisyah meninggalkan Kota Bogor, pembangunan sudah banyak yang terjadi. Membuat sebagian udara di kota itu tak lagi bisa dikatakan menyejukkan, aisyah sedikit kesal melihat pembangunan yang terjadi disana. Bukan tak mau kotanya maju, namun tatanan kota yang berubah, bisa membuat struktur udara berubah dan bahkan bisa kehilangan keindahannya.

Aisyah baru saja tiba di Bogor sekitar dua jam yang lalu. Perjalanan yang lama membuat tubuhnya sedikit meringkih. Aisyah masih ingat betapa baik sahabatnya, meminjamkan sebagian uangnya untuk menolongnya. InsyaAllah, secepatnya aisyah akan mengganti uang yang Alya pinjamkan.

Dengan balutan rok hitam dan kemeja putih, aisyah bersiap mengunjungi ayahnya. Aisyah sangat bersyukur ayahnya tak mengalami penyakit yang serius, namun dibutuhkan perawatan intensif untuk lambung beliau.

Jalan kota Bogor hari ini tampak sedikit basah. Tak heran jika bogor disebut kota hujan. Namun semua orang salah jika memandang kota Bogor selalu sejuk, nyatanya setiap daerah jika siang hari sangatlah panas.

Lampu merah telah berhenti didepan sana. Seorang anak kecil dengan balutan kaus oblongnya sedang menjualkan beberapa minuman. Aisyah membeli sebotol mineral dan anak kecil itu menampakkan senyumnya. Namun jauh dilubuk hatinya merasa miris, tak pantas bukan?! Jika anak kecil sekitar usia enak tahun sudah berjualan disana.

Aisyah menghembuskan nafasnya ketika klakson motor dibelakangnya berbunyi. Dengan cepat aisyah melajukan motornya setelah tau bahwa lampu sudah berganti warna.

Setelah memarkirkan motornya, aisyah langsung berjalan kekamar dimana ayahnya berada. Tiba-tiba saja rasa rindu mencuat seketika setelah aisyah menatap dari balik kaca kecil yang terpasang di pintu. Ayahnya terlihat lelap dalam tidurnya. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter.

"Assalamu'alaikum" aisyah melangkahkan kakinya, dilihatnya ibunya yang nampak semakin tua tersenyum getir. Ia tahu bahwa kekhawatiran selalu ibunya berikan kepada keluarganya, bahkan dalam hal yang menurut aisyah tidak terlalu fatal.

Ibunya berjalan kearahnya, menyambutnya dengan pelukan hangat.

"ibu? Ayah sudah membaik?" tanya aisyah sambil melirik ayahnya yang sedang berbaring diranjang.

Ibunya melirik sekilas " ya, seperti yang kamu lihat, Alhamdulillah "

Aisyah hanya mengangguk. Matanya mengelilingi penjuru kamar ayahnya. Dilihatnya parsel buah yang sangat indah di samping nakas tempat ayahnya berbaring. " ini dari siapa bu?"

" dari rekan kerja ayahmu"

Aisyah mengangguk, "baru saja ya bu?"

"Iya, baru saja rekan kerja ayahmu keluar sebentar untuk menerima telefon" sahut ibunya yang kembali duduk di dekat ranjang ayahnya.

Aisyah hanya mengangguk, lalu iapun duduk disisi lain ranjang ayahnya.

"Kamu pasti belum makan ya?"

Aisyah mengangguk, pasalnya ia selalu lupa makan jika harus mengejar waktu.

"Aisyah lupa bu"

"Yaudah ibu carikan makan dulu ya"

Sepeninggal ibunya. Aisyah sibuk menatap ponselnya. Menghafal penggalan ayat terakhir Al-Kahfi yang belum dikuasainya. Aisyah terus mengulang beberapa ayat sampai suara yang awalnya tertahan kini mulai keluar dengan bebas.

Dalam Diam Ku MenantimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang