Tigabelas

1.5K 71 4
                                    

Pagi itu, rasa itu, dan dia itu. Semua berturut-turut berubah kelabu. Semua berusaha untuk terlepas, menghempas, atau mungkin terkelupas.

Jika awan menjadi kelabu karena menampung air yang terlalu banyak. Beda halnya dengan rasa yang entah sudah penuh ataupun belum ikut menjadi kelabu dan tak tau siapa pemiliknya. Kevin mendengus, lantas mengapa perempuan itu juga ikut menjadi perbandingan diantara kedua hal tersebut? 

Abu-abu memiliki makna tersendiri. Perantara diantara hitam dan putih, diantara gelap dan terang, dan juga diantara kepastian dan ketidak pastian.

Kelabu?

Seperti dirinya, kevin berkali kali tak fokus dengan kelas paginya. Ia terus dan terus menatap pulpen yang diketukkan pelan pada meja. Bahkan tiga jam tak membuat dirinya merasa lelah. Dosenpun terlihat berkali-kali meminum air mineral dari tumblernya. Sampai ucapan terima kasih dari dosen berkumandang dan satu persatu teman diruangannya beranjak keluar. Dan menyisakan kevin yang masih berfikir keras sambil bersender dimeja. Mencondongkan tubuhnya kedepan dengan malas.

Ta'aruf?

Bukankah ta'aruf tak cukup mengikat sebuah hubungan? Hanya ta'aruf bukan? Bukan khitbah ataupun pernikahan yang memiliki ikatan kuat. Namun lagi-lagi yang membuat kevin sedih, ta'aruf memang tak mengikat hubungan, namun ta'aruf yang akan menjadi simpul menuju jalannya hubungan.

"Aisyah, tolong batalkan pernikahanmu, dan menikahlah dengan ku" gumam kevin, dengan cepat ia menggeleng, tak mungkin ia berbicara seperti itu dengan perempuan itu.

"Aku akan menikahimu, jadi putuskanlah hubungan mu " lagi-lagi kevin menggeleng. Ia bukan perangkai kata yang handal.

Kevin menghembuskan nafas kasarnya ketika ia belum menemukan sebuah kepastian akan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dilangkahkan kakinya menuju sebuah masjid yang tak jauh dari fakultasnya.

Ia belum solat dhuha.

Sesampainya di masjid ia segera melaksanakan kebiasaan barunya. Kevin merasa jika ia kehilangan kebiasaan barunya, ia merasa aneh dengan dirinya. Cukup indah bukan?

Salam terakhir menyelesaikan ibadahnya. Diraupnya kedua tangannya setinggi mungkin. Ia ingin, rezekinya adalah perempuan itu. Bolehkah ia berharap sedemikian?

Ia ingin halal adalah ikatan untuk wanita sesempurna dia. Ya walaupun kevin tau setiap manusia tak ada yang sempurna.

Setelah melaksanakan kebiasaannya, kevin beranjak keluar. Dan saat memakai sepatu nya ia melihat alya-sahabat aisyah. Perempuan itu berda tak jauh darinya.

"Tunggu" teriak kevin sambil mengerutkan keningnya. Semua terjadi begitu saja, tanpa bisa disaring kembali kevin berteriak spontan.

"Ya? " alya menengok kebelakang dan melihat kevin yang sedang sibuk menyimpul sepatu talinya dengan cepat. Bahkan alya bisa yakin jika langkah kelimanya tali itu akan tercopot.

Dan tepat sekali langkah kelima kevin tali itu terlepas. "Assalamu'alaikum, aku ingin bertanya" ucap kevin dengan tenang. Dibalik ketenangannya mata itu terpancar begitu banyak pengharapan.

"Boleh aku minta nomor aisyah?"

Alya mengerjapkan matanya. Cukup lama alya berfikir dengan diam. "Hm" kevin Menunggu ucapan alya, "boleh aku meminta nomor aisyah?"

Alya dengan cepat mengangguk. Bisa ia pastikan laki-laki dihadapan sedang mengharapkan aisyah. Alya mencari ponselnya di balik ranselnya. Namun saat ponsel itu telah berada di genggamannya, sekelibat ia ingat bahwa aisyah sedang berta'aruf dengan laki-laki pilihan ayahnya.

Dosakah ia?

Alya mengangkat wajahnya, berhadapan dengan kevin. " untuk apa? Jika hanya bilang untuk membatalkan pernikahannya dengan laki-laki yang sedang berta'aruf dengannya, mohon maaf aku tidak bisa memberikannya."

Dalam Diam Ku MenantimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang