Happy Reading...
"Kamu tidak akan bisa menghitung seberapa banyak cinta yang kamu terima setiap harinya. Jangan perdulikan mereka yang saat ini tengah membencimu. Ingat satu hal saja cintaku jauh lebih besar dari kebencian mereka"- dari Malven untuk Mario.
Sudah biasa bagi seorang Malven keluar malam untuk balapan motor atau sekedar nongkrong bersama teman-temanya. Namun malam ini tujuan ia keluar berbeda, ia mengunjungi papanya yang sedang berada di rumah sakit. Malven membuka pintu ruangan Papanya, dan melihat papanya masih terjaga.
"Pa" panggilnya dan menutup pintu kembali.
"Loh tumben kamu ke sini nak. Barusan aja Kakak kamu ke sini tadi sore"
Tumben? Benar, ia memang jarang menjenguk tapi bisakah jangan membawa nama Mario seakan-akan ia kembali kalah pada Kakaknya itu. Malven menarik kursi yang ada di samping kasur. "Gimana keadaan papa? Kata dokter kapan papa bisa pulang?" Malven tidak mau membahas Mario sekarang sehingga ia mengalihkan pembicaraan.
"Papa udah sehat. Besok papa udah bisa pulang kalo kamu mau" Arta mengusap kepala Malven dengan gemas.
Malven naik ke atas kasur ikut merebahkan dirinya disamping Arta lalu memeluk papanya dengan manja."Malven kangen papa"
Arta membalas pelukan Malven dan menepuk-nepuk pantat Malven layaknya seorang anak kecil. "Papa juga. Papa sayang Mario dan Malven"
Malven mendengus kesal, selalu saja namanya disebut setelah Mario bahkan ketika sosoknya tidak berada di sini.Diluar sedang hujan, pikiran Malven hanya terpaku pada seseorang. Seseorang yang mungkin sedang kedinginan di luar sana tanpa kasih sayang orang tua.
"Tadi Mario kesini bawain bubur ayam kesukaan kita berempat. Mario kurusan ya Ven sekarang. Perasan papa baru seminggu di Rumah sakit tapi berasa kaya setahun gak lihat kalian"
"Iya, dia jarang makan" jawab Malven.
Entah tinggal dimana Mario sekarang dan makan apa ia saat ini. Malven berusaha untuk tidak perduli namun pertanyaan itu selalu hadir dikepalanya. Tapi egonya terlalu besar untuk sekedar menyapa lewat pesan.
***
Mario membuka pintu studio lalu menyalakan lampu. Ia masuk ke dalam ruangan kerjanya dan mengganti pakaiannya yang basah.
Beruntung ia memiliki studio foto ini karna ia yakin suatu hari nanti tempat ini adalah tempat untuknya pulang. Dan benar saja, mulai hari ini studio foto ini akan menjadi rumahnya. Mario sengaja mendesain ruangan kerjanya layaknya sebuah kamar dan tak satupun pernah masuk ke sini terkecuali dirinya.Mario mengambil kameranya yang terkena hantaman bola basket yang sengaja dilempar Malven ke arahnya. Kamera yang sudah rusak itu ia simpan ke dalam sebuah kotak. Tak lupa ia menempel sticky note tepat dilensa kemera tersebut.
"Kamera kelima yang dirusakkan oleh Malven" tulisnya.
Mario merebahkan dirinya di atas kasur dan menatap sebuah foto yang terpajang di dinding. Foto tiga orang anak kecil berbaju karate saling merangkul satu sama lain. Di foto itu ada dua anak laki-laki merangkul satu anak perempuan yang hobi mengepang kedua rambutnya.
***
Setelah pulang dari rumah sakit Malven pergi ke mini market untuk membeli es krim dan membeli dua dengan rasa yang berbeda. Kemudian mengambil duduk di depan mini market, menaruh es krim Vanilla di depannya sedangkan dirinya memakan es krim rasa coklat. Dia terlihat seperti seorang jomblo sekarang. Iseng ia membuka aplikasi line mengirim foto es krim vanilla pada seseorang yang sampai sekarang belum menerima permintaan pertemanannya.
"Ice cream Vanilla, mau?" Ketiknya.
Malven menaruh hpnya lagi. Ia yakin pesannya akan dibalas satu atau dua hari lagi oleh Adel. Malven menertawakan dirinya sendiri karna masih saja mengejar Adel yang jelas-jelas tidak menyukainya.
Malven dikagetkan oleh kedatangan Rey yang kini duduk di hadapannya. Rey membuka bungkus es krim vanilla miliknya lalu memakannya kemudian menjatuhkannya dengan sengaja.
"Long time no see Malven" sapanya."Bangsat!" Malven menarik baju laki-laki itu.
Rey mengangkat kedua tangannya. "Slow bro. Lo mending simpan tenaga lo buat pertandingan nanti"
"Mau apa lo?" Tanya Malven masih mencengkram kerah baju Rey.
Rey menunjuk ke arah cctv yang terpasang di depan mini market. Malven melepas tangannya dari kerah bajunya. Rey membetulkan bajunya kembali.
"Gue gak ada waktu, cepat bilang apa tujuan lo ke sini?" Tanya Malven.
Rey memandang es krimVanilla yang sudah terjatuh di tanah. "Hanya berjalan-jalan dan gak sengaja ketemu teman lama yang merindukan kakaknya,heh?"
Malven juga tidak tau mengapa ia duduk sendirian di depan mini market seperti orang bodoh dengan dua bungkus es krim.
"Es krim vanilla? So sweet. Oh gue sampai lupa nanya kabar. Gimana kabar lo? Dan abang lo yang...gue sebut dia apa ya enaknya?"
Malven menahan emosinya. Tanganya gatal ingin menonjok wajah Rey. Rey membuka topinya dan menyisir rambut dengan jari-jarinya memperlihatkan sebuah bekas luka yang ada di pipi kirinya. "Dua bulan dari sekarang. Gue gak sabar ketemu abang lo"
"Lo gak akan ketemu dia" tegas Malven.
Rey berpura-pura terkejut dengan memegangi dadanya."Lantas gue akan ketemu siapa dong? Ketemu lo?" dan menunjuk Malven dengan tatapan penuh ejekan. "Kemana abang lo? Udah mati dia sekarang setelah ngelawan gue?"
"Gue pastiin lo gak akan ketemu dia lagi" Tegas Malven sekali lagi sembari mengamati luka di wajah Rey.
"gue denger dia jadi tukang foto sekarang. Haha... dia beneran udah pensiun ternyata" Rey mengelus luka di pipinya, "Gue gak akan pernah lupa darimana gue dapat ini"
"Pergi lo dari sini Rey" usir Malven.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Us (Tersedia di play store)
Teen Fiction[longlist Wattys 2018] Mario, katakanlah ia manusia termalang di dunia. Menjalani kepahitan hidup sendirian. Sampai sebuah takdir mempertemukannya dengan Adel, gadis itu telah mengubah hidupnya menjadi lebih manis. Adelia, ia tak pernah...