Chapter 9

975 162 109
                                    

"Lo gue anterㅡanjir! Lo kenapa!?"

Gue setengah berteriak pas liat darah keluar dari hidung dan sudut bibir Valerie. Tapi dia cuma geleng kepala lagi. "Gue kecapean doang. Nggak papa, kok," balasnya.

Tibatiba, Thalia muncul dengan wajah sama paniknya kayak gue. "Apaan, sih, Val! Gapapa apanya?!"

Valerie sedikit kaget ketika Thalia tibatiba datang dan langsung ngasih tisu.

"Kak, bawa ke dokter aja!" Ucap Thalia panik sambil ngelap darah yang ngalir dari hidung Valerie pake tisu. "Thal, gue gapapa. Gue ada obat dirumah."

"Sumpah, ya. Lo kenapa, sih, nurut aja gitu sama gue sekali," bentaknya kepada Valerie.

Tangguh juga ni bocah.

Akhirnya setelah perdebatan panjang dengan Thalia yang terus maksa Valerie buat cek dokter, Valerie ngalah dan biarin Thalia bawa Valerie ke dokter.

Sampe dokter meriksa dan ngeliat hasil lab, Thalia nyamperin dokter yang ada di sebelah ranjang Valerie. "Kenapa, dok, kakak saya?" Tanya Thalia tergesa-gesa.

"Jangan kecapean ya, Bu. Ada infeksi lambung sama tekanan darahnya tinggi. Itu sebabnya muntah darah. Pola makan sama makanannya dijaga." Jelas dokter yang dihadiahi anggukan Valerie. Thalia yang melihat itu langsung memberikan tatapan membunuh ke Valerie yang bisa gue liat.

"Tapi jangan khawatir, cuma terjadi di trimester awal aja, kok." Ucap dokter itu. "Yaudah. Saya tinggal, ya? Sebentar lagi boleh pulang kok tidak perlu dirawat."

Setelah kita semua berterimakasih dan dokter keluar, Thalia duduk di samping ranjang Valerie. "Lo, sih! Pulang ya lo sama gue," ucapnya final.

"Mama sama Papa sehat, Thal?"

Gue bisa liat Thalia muterin bola matanya. "Mama kerjaannya nangis mulu capek gue. Makannya lo pulang, kek. Biar Mama nggak nangis terus."

"Bilang Mama gue nggak kenapa-kenapa."

Tibatiba Thalia berenti ngomong. Dan langsung natap gue. "Loㅡlo siapa dah, kak?" Tanyanya ke gue. "Luke mana, Val? Dia harus tanggung jawab sama lo!" Ucap Thalia lagi.

"Bㅡbukan Luke, Thal. Dia nggak pernah ngapa-ngapainㅡ"

"Terus.." Thalia berbalik arah ke gue.

"Anjing. Lo ya, kak?" Tanyanya ke gue dengan nada tinggi. Gue milih buat nggak ngejawab. Karena percuma, cewek selalu menang, kan? Apalagi modelan kayak Thalia gini.

"Gak sopan banget sih lo, Thal." Ucap Valerie nggak kalah keras.

"Lo tau nggak, Kak Calum? Kakak gue, Valerie, berenti kuliah padahal dia udah mau skripsi dan sebentar lagi lulus terus jadi dokter."

Valerie.. Mahasiswa kedokteran?

"Dan lo? Seenaknya aja ngancurin hidup dan masa depan kakak gue cuma sama nafsu selangkangan lo itu," lanjutnya menggebu-gebu.

Thalia menghela nafas dalem-dalem. Gue tau, saat ini dia lagi marah banget sama gue. "Lo tuh.. Kayak apa, ya? Bangsㅡ"

Valerie ngubah posisinya jadi duduk. "Thalia, mulut lo jahat tau, nggak? Lo nggak tau apa-apa tentang ini dan lo masih kecil. Jadi, tolong diem."

"Gue belain lo, Vㅡ"

"Gue yang minta Calum lakuin itu ke gue. Kenapa? Gue mabuk-mabukan, Val. Gue cewek nggak bener." Ucap Valerie dengan suara bergetar.

Sial. Kenapa gue harus di dalam situasi kayak gini?

"Demi apapun, Thal. Bahkan lo nggak tau apa-apa dan langsung marahin orang gini? Punya sopan santun, nggak?"

"Lo.. Nggak serius, kan, Val?" Thalia menatap mata Valerie dalam-dalam. Gue cuma bisa ngeliatin mereka berdua dari sofa ruang rawat.

"Gue pernah bercanda? Nyesel lo ngomong hal yang nggak harusnya lo bilang ke orang asing?" Ucap Valerie sinis. "Lo pulang aja. Gue mau istirahat."

Thalia senyum miring dan ngambil tas kecilnya. "Gue harusnya kemarin dukung Papa dalam hal ini. Bahagia deh lo sama dia," ucapnya seraya pergi dari ruangan Valerie.

Selepas Thalia pergi, gue samperin Valerie sambil geleng-geleng kepala. Valerie masih natap lurus ke depan dengan pandangan kosong.

"Lengkap banget, ya. Semua orang benci gue sekarang." Ucapnya pelan.

"Gue bener-bener nggak tau kalo Thalia bakalan ngomong sejahat itu sama lo, Cal. Gue minta maaf banget nyeret lo ke masalah gue."

Gue berdeham. "Gapapa, Val. Ini juga salah gue."

"Gue boleh.. Peluk? Gue janji kali ini doang abis itu loㅡ"

Gue sempet kaget pas Valerie minta peluk. Tapi, belum sempet Valerie selesain kalimatnya, gue udah ngebawa Valerie ke dalam dekapan gue. Dan detik itu juga, Valerie nangis di pelukan gue.

〰〰

Sembilan chat dari Shadia sejam yang lalu ngebuat gue pengen cepet-cepet sampe apartemen dan facetime dia.

"Lo gapapa sama Thalia?" Tanya gue memecahkan keheningan.

Valerie sempet noleh ke gue. "Gapapa. Palingan cuma sebentar doang."

"Lo gimana sama tunangan lo?" Tanya Valerie. Gue langsung kaget denger dia nanyain Shadia. "Gimana apanya? Baik-baik aja," bales gue.

Selama perjalanan, Valerie selalu mecahin keheningan yang nggak pernah Shadia lakuin. Shadia termasuk orang yang jarang ngobrol kalo di perjalanan, tapi bawel kalo udah lagi nggak di jalan. Menurutnya, pemandangan jalanan emang harus di liatin bener-bener. Tapi anehnya sering banget dia tidur pas lagi di jalan.

Sekarang udah hampir jam satu siang dan gue udah ada di depan gerbang rumah kos-kosan yang disewa Valerie.

Sebelumnya, Valerie nolak buat gue anterin dengan alesan dia malu karena rumahnya sekarang kecil. Tapi, setelah gue paksa akhirnya dia nggak nolak karena gue nggak mungkin biarin dia naik angkutan umum sendirian, kan?

Valerie dengan segala kemewahan yang dia punya, dan sekarang dia tinggal di tempat kayak gini?

"Lo tinggal disini?" Dengan ragu, Valerie mengangguk.

"Mau pindah ke apartemen deket gue? Gue juga tinggal di apartemen," tawar gue yang nggak gue sadari.

Valeri menggeleng lemah. "Nggak usah, Cal. Gue nyaman kok disini," ujarnya. "Gue turun, ya."

"Val," Valerie nengok karena ngerasa kepanggil.

"Lo bisa hubungin gue kapan aja kalo ada apa-apa," ucap gue. Valerie ngangguk sambil senyum.

Valerie mulai ngebuka pintu mobil dan sebelum itu, gue manggil lagi. "Val."

"Gua minta maaf atas kejadian waktu itu. Lo bisa minta gue apa aja dan bakal gue turutin." Gue menghela nafas.

"Tapi maaf, kalo buat tanggung jawab buat nikahin lo, gue nggak bisa."

〰〰

aku anaknya males baca ulang hehe

unintended ✖️ 5sosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang