Bel pulang pun berbunyi, dan guru yang sedang mengajar keluar dari kelas. Aku membereskan alat tulisku sambil sedikit berbincang dengan Siska yang juga sedang membereskan alat tulis.
"... Bella ngamuk tau lo pacaran ama El."
"Oh ya?" tanyaku terkekeh oleh pernyataan tiba-tiba dari Siska. Aku kemudian menggantungkan kedua tali ransel sekolahku ke bahu. "Lo chatan ama dia? Dia bilang apa?"
Siska terkekeh sejenak. "Ngakak, sih, sebenernya. Dia cuma bilang setelah putus dari Romeo-nya gue, dia pacaran sama Pangeran Kelas satu-satunya?! Dasar brengsek! Hidup si Reana enak benget, perasaan. Gitu."
Aku dan Siska tertawa kencang karenanya. Baru saja aku berdiri, bayangan orang yang berdiri di sebelahku membuat Siska berhenti tertawa. Sedangkan aku mengangkat wajah dengan sisa-sisa tawaku. Ternyata El yang sedang berdiri sambil menatapku semangat. "Kenapa?" tanyaku, masih dengan sisa tawa.
"Pulang bareng?" tanyanya sambil membenarkan letak tasnya yang hanya ia gantung di salah satu bahu.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. "Nggak, ah. Gue bawa motor."
El cemberut, kemudian berdecak. "Lo titipin aja motornya disini. Lo pulang bareng gue."
Aku menggeleng kuat. "Nggak, ah. Itu motor gue satu-satunya."
"Gue balikin ntar ke rumah lo, deh. Beneran!" ucapnya sambil mengangkat tangan kanannya seolah bersumpah. "Tapi lo bareng gue, ya? Ya?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak mau! Kita baru pacaran beberapa jam yang lalu. Dan gue, nggak mau ngerepotin orang lain."
El membuang napas kasar. "Kita baru pacaran beberapa jam yang lalu. Dan artinya, gue bukan orang lain disini."
"Gue tetep nggak mau!" seruku sebal sambil berdecak. "Dasar berengsek!"
Hening.
Mataku menatap sekitaran, dan ternyata, banyak murid kelas yang belum pulang. Atau semua murid kelas ini belum pulang? Ah, benar. Ternyata memang begitu. Dan mengapa mereka tumben-tumbenan belum pulang? Melihat mata mereka yang menontonku dan El, itu terlihat seperti mereka semua memang sengaja belum pulang untuk melihat aksi kami. Dan mengapa wajah mereka sangat tegang begitu?
El juga. Mengapa dia melihatku dengan tatapan datarnya? Seketika, sebuah kenyataan menyadarkanku. Oh gosh. Kita bahkan baru bertemu beberapa jam, dan aku sudah mengatainya? Sangat tidak sopan, Reana. Sangat tidak sopan.
"Lo marah?" tanyaku pada El, dan dia tetap diam. Mataku mengerjap pelan. "Serius marah? Marah karna gue bilang berengsek? Nggak cowok banget, lo. Gue aja sering dikatain berengsek, tapi biasa-biasa aja."
Dia mengedip sekali, lalu menatap tajam padaku. "Siapa yang ngatain lo kayak gitu?"
Bola mataku berputar sejenak, kemudian kembali menatap pada El. "Temen?"
El membuang napas kasar. "Lo jangan mau dikatain kaya gitu. Dan lo juga jangan ikutan kaya gitu. Ngerti? Lo harus tau mana yang baik atau enggak. Mulutmu, harimaumu."
Dia benar juga. "Tapi kan itu cuman candaan."
"Candaan nggak bisa disebut candaan kalo cuma satu orang yang ketawa."
"Gue ama Siska tadi ketawa karna itu."
"Dan karna gue enggak, jadi hilangkan kata itu jadi candaan."
"Dih, itu mah situ aja yang baperan."
El membuka mulutnya setengah dan matanya menatap tidak percaya padaku. Kepalanya kemudian menggeleng disertai dengusan geli darinya. "Seriously? Kita bakal debat cuma karna ginian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
Random[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...