Benar, kan, apa yang aku ucapkan pada El kemarin? Aku langsung sembuh dan bisa menjalankan aktifitasku seperti biasa. Yah, mungkin kalian menyangka aku sakit pura-pura kemarin. Namun percayalah, mental break down bisa membuat orang sakit. Sepertiku kemarin. Namun sialnya, entah aku terlalu bersemangat atau apa, datang ke sekolah aku langsung pergi ke ruang guru untuk memberikan surat sakitku yang kemarin. Dan menyebalkannya, aku di suruh oleh Pak Zen-guru olahragaku-untuk pergi ke ruang olahraga hanya untuk menyimpan 6 buah raket.
Dan apakah dia tidak mengerti? Aku baru saja sembuh! Seenaknya saja dia menyuruhku ini-itu. Mungkin, kalau saja aku seorang murid yang berandalan atau bandel, aku akan dengan senang hati menolak permintaan Pak Zen. Namun apalah daya? Aku hanyalah Reana si murid biasa-biasa saja, yang mungkin tidak akan di lirik guru jika aku tidak cukup aktif di kelas. Yah, walaupun aku bukan pentolan sekolah, tapi aku ini pentolan kelas karena berteman dengan Bella dan Siska yang notabenenya murid yang selalu berisik di kelas.
Ruang olahraga memang cukup jauh dengan kelasku. Apalagi, dengan tempatnya yang berada di pelosok dan juga harus melewati ruang musik dan janitor. Lagipula, siapa yang menyimpan ruang olahraga di pelosok terdalam sekolah, sih? Kan seharusnya, tempat yang penting itu di simpan dekat dengan sekolah. Misalnya, di ruangan pinggir lapang atau terserahlah. Bukannya jauh dari peradaban dan bahkan harus menaiki tangga untuk ke sana. Benar-benar tidak kreatif.
Selesai menyimpan raket-raket itu di tempat penyimpanan raket, aku lalu menghela napas dan menepuk kedua tanganku lalu berkacak pinggang. Aku keluar dari sana dan menutup pintu ruang olahraga. Aku diam sebentar, melirik ke sisi kiriku di mana di sana ada tangga darurat yang memang hanya guru dan staf kebersihan saja yang boleh melewati jalan tersebut. Aku mengerjap sebentar, lalu berpikir keras. Kepalaku kemudian menggeleng pelan. Sebaiknya tidak. Aku tidak ingin kena hukuman jika nantinya malah berpapasan dengan guru.
Sambil menghela napas lelah, aku kemudian berjalan ke arah dimana aku datang tadi. Saat melewati ruang janitor, aku mendengar suara yang sangat aneh. Suara seperti teriakan tertahan, dan juga ocehan tak jelas. Aku mengerjap, kemudian berjalan ke pintu ruang janitor. Pintu ruang janitor itu hampir tertutup, dan sedikit menimbulkan celah di sana. Aku mengerjap heran saat menatap dua orang pria yang sedang berhimpitan dan saling membelakangi. Tubuhnya kemudian makin menempel dan orang yang di belakang seperti maju mundur entah sedang apa.
Aku memiringkan kepala, lalu melotot saat melihat sesuatu yang belum pernah aku liat secara langsung. Pantat lelaki! Astaga!
Aku berteriak, dan sontak berbalik ke belakang dengan cepat. Aku yang tadinya akan berlari, tidak jadi saat seseorang merengkuh kepalaku dan menyembunyikan kepalaku di dadanya. Aku diam lemas, walaupun tidak tahu siapa yang memegang kepalaku di dadanya, tapi aku tetap membutuhkan perlindungan sekarang. Aku trauma. Sungguh. Baru pertama kalinya ..., secara live ...
Aku bergidik dan tidak mau meneruskan monologku.
"Woy goblok!" seruan kejam itu membuatku tahu siapa pemilik suara orang yang merengkuh tubuhku. El. Kenapa dia bisa berada di sini? Sementara aku berpikir, El tetap pada teriakannya entah pada siapa mereka. "Pake otak lu! Dimana lu simpen otak lu, hah?! Pagi-pagi udah ngelakuian hal nggak senonoh. Sewa hotel! Apa nggak mampu?! Perlu gua bayarin?!"
Aku tahu El dalam keadaan marah, entah pada siapa. Yang pasti, sepertinya mood El sedang memburuk dan dia melampiaskannya pada orang lain. Karena tidak mungkin, El marah begitu karena aku. Benar, kan? Eyy, kita bahkan berpacaran dengan terpaksa. Mana mungkin El melakukannya demi aku?
"Ayo kita pergi."
Aku masih dalam sesi lamunanku dan keterkejutanku saat El menarik tanganku dan malah membuatku limbung ke arahnya. Untung saja, El dengan sigap memegangi tanganku. Sungguh, kaki lemas akibat kejadian tadi.
El menatapku dengan tatapan menyelidik. Entah rupa wajahku seperti apa. Tapi mungkin yang lebih dominan adalah berwarna merah merona. Karena daripada mentapku khawatir, El malah menunjukkan seringai jahilnya. "Lo nggak papa?"
Aku yakin itu hinaan. Selain karena nadanya yang terdengar seperti ingin ketawa, wajah El juga tidak sedikitpun terlihat cemas. Yah, aku tidak mengharapkan kecemasannya, sih. Namun, jika aku se-syok ini, harusnya dia punya sedikit rasa empati, bukan? Dan walaupun aku merasa kakiku sangat lemas, ego menguasai diriku sehingga aku menjawab. "Gue gak papa."
Dan aku menyesali kalimat itu karena pada saat aku berjalan, kakiku malah tersandung dengan kakiku yang lain dan menyebabkan aku jatuh terduduk. El tertawa.
Aku memelototinya. "Lo serius?! Pacar lo lagi jatuh tersungkur, dan lo cuma berdiri dan ketawa?!"
El berhenti tertawa. Dan saat senyum jahil bermain di bibirnya, aku baru mengetahui kebodohanku. Aku menganggapnya pacar. Meng-ang-gap. Ejaan itu untuku, supaya aku menyadari kebodohanku. "Pacar, yah?" tanya El, seolah ingin lebih mempermainkanku. Dia berjalan ke arahku, lalu menatapku dengan tatapan yang bahkan baru aku temukan di matanya. "Mau gue gendong, nggak, pacar? Biar nggak jatuh lagi waktu nyoba jalan."
Aku mendelik ke arahnya. "Nggak perlu!" seruku sebal.
El malah kembali tertawa. Baru saja aku akan kembali berdiri, tahu-tahu aku merasa diriku melayang setelah El menarik tanganku dan membawanya ke depan tubuhnya. Butuh beberapa detik untukku menyadari jika sekarang aku berada di atas punggung El.
Aku memekik kencang. "Eh! Ngapain?!" pekikku sambil memukul tangannya. "Turunin gue! Ntar kalo ada yang liat gimana?!"
Dia ini bego atau bodoh? Kenapa berani-beraninya menggendongku di punggungnya saat kita masih berada di sekolah? Dan lagi, kenapa dia berani sekali menggendongku? Aku bahkan belum pernah digendong ayahku saat dewasa. Masalahnya ..., aku kan perempuan.
"Lo kan pacar gue," El masih bisa mengejekku, membuatku lebih memilih memukul punggungnya. "Pacar kasar, deh," ejeknya sambil terkekeh.
Aku berdecak sebal dan membiarkan saja dia membawaku. Merasa ada yang memperhatikan, aku menoleh ke ruang janitor, dan terkejut melihat Arkan di sana. Mulutku menganga lebar dan mataku melotot saking kagetnya. "Oh. My. God," ucapku dengan tarikan napas kaget. Aku kemudian menatap pria di sebelahnya, yang ternyata staf kebersihan di sekolahku. Sontak, aku memekik dan menenggelamkan wajahku di tengkuk El. "Ayo pergi dari sini."
"Siap, pacar!" bisa-bisanya dia mengejekku di situasi se-canggung ini?
Aku bukannya tidak tahu apa yang sudah Arkan dan staf kebersihan itu lakukan. Dan jika El normal, harusnya dia juga merasa canggung di situasi seperti ini.
El menurutiku. Dia berjalan dengan aku yang berada di gendongannya, dan masih menenggelamkan wajahku diantara tengkuknya. "Na, napas lo di tengkuk gue bikin geli." ucap El di sela perjalanan.
Aku segera mengangkat wajahku, lalu cemberut saat mendengar kekehannya.
"Tumben nggak ngajak debat?" El lagi-lagi bersuara di sela perjalanan. "Masih syok karna tau kenyataan kalo mantan lo gay?"
"EL!!" teriakku kencang.
Bisa-bisanya dia menjadikan ini bahan bercandaan? Dan juga, darimana dia bisa tahu jika aku dan Arkan pernah berpacaran?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
Random[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...