Φ Nggak Boleh Putus (2)

2.3K 206 5
                                    

"Lo sekarang jarang banget, deh, kumpul bareng kita," Bella sok-sokan sedih saat mengucapkan hal itu. "Kali-kali, bujuk El dong, biar mau istirahat bareng gue-eh kita, maksudnya."

Nah kan, sudah kubilang jika Bella sok-sokan sedih. Mungkin, Bella lupa jika dia pernah menggunakan wajah itu saat dia ingin Arkan istirahat bareng dengannya-dengan kita, maksudku. Namun berakhir dengan dia yang terus menerus sok cantik di depan Arkan. Dikiranya, Arkan bakalan tergoda, apa? Arkan kan gay. Dia tidak tahu saja.

Aku menguap dan segera menutup mulutku dengan sebelah tangan. Saat ini, kelas sedang sepi. Guru-guru sedang rapat, tipikal jika sudah berada di akhir semester. Dan sebagian murid keluar kelas, tidak terkecuali El. Aku baru tahu jika El ternyata punya teman di sekolah ini. Padahal, kukira dia introvert atau ansos. Soalnya, kemarin-kemarin dia seperti tidak punya teman dan mengintiliku terus. Aku mendengus memikirkannya, dan bersamaan dengan itu, Bella merengek minta makan dengan El di kantin besok. Saat ini, gangku sudah berkumpul. Bukan gang yang genk yaa. Gangku hanya sekelompok orang teman-teman yang memang sering bermain berkelompok denganku. Hanya 3 orang. Dimas, Bella, dan Siska. Denganku jadi 4. Kalau di istilahkan, kelas ini blok-blokan.

Bella terus merengek, sedangkan aku tetap diam di tempatku. Dia tidak tahu saja jika saat ini aku dan El sedang dalam kecanggungan akibat perkataanku tadi pagi pada El. Ah, benar juga. Aku bahkan lupa memberitahu sahabatku tentang ini semua.

"Gue dijodohin, guys." ucapku, memotong perkataan Bella yang menggebu.

Bella memelototiku dengan tatapan tidak percayanya. "Bohong!"

"Serius lo?" tanya Siska dengan mata yang melotot kaget. "Kok bisa? Setau gue, bonyok lo bukan tipe orangtua kolot, deh."

Sedangkan Dimas hanya tertawa dengan puas mendengar ucapanku.

Aku menghela napas panjang. "Nenek yang jodohin gue."

Dan semuanya diam, tahu jika aku membawa nama Nenekku, berarti berita tersebut adalah berita serius. Aku bersidekap dada, dan menyimpan daguku di atas tanganku yang bersidekap. "Gue harus gimana? Gue bingung banget. Gue tadi udah bilang sama El, tapi dia ngga mau putus, katanya."

"Beneran si El ngomong gitu?" Dimas kini bersuara, bertanya dengan mata memincing seolah perkataanku adalah hal yang mustahil di dengarnya.

Aku mengangguk, dan kembali menghela napasku. "Gimana, ya? Gue kasian sama dia. El orangnya baik. Nggak kebayang kalo gue yang nantinya malah jahatin dia."

Dan meja itu hening, seolah aku baru saja mengatakan suatu hal yang membuat orang-orang di sekitarku speechless. Padahal, kukira yang lainnya akan merespon seperti saat aku berkata jika aku dijodohkan. Tapi mereka diam, dan aku sangat penasaran atas diamnya mereka. Mataku satu persatu menelusuri wajah-wajah berpikir di hadapanku. "Kenapa?"

Bella menggeleng.

Siska mendekatkan wajahnya ke arahku. "Lo tau, gue cukup kaget dengan lo yang ternyata berani mutusin El." bisiknya.

Aku mengerutkan keingku dengan heran. "Kenapa harus nggak berani?"

"Percaya nggak percaya," Bella membuka suara kembali. "Cuma Selen satu-satunya yang berani mutusin El, dan di depan umum, lagi."

Aku mengerjap bingung, lalu memiringkan kepala. "Kenapa bisa gitu? Semua orang berhak mutusin pasangannya, kan?"

"Lo taulah gimana si Arkan and the gang," kata Dimas. "Mereka sukanya mutusin, bukannya di putusin. Dan lo liat juga, kan? Beberapa cewek di sekolah kita bahkan ngemis-ngemis minta balikan, kecuali lo tentunya," Dimas melanjutkan sambil mendengus sebal. "Mana ada yang diputusin iya-iya aja sambil nerusin makan bakso?"

Mau tidak mau, ucapan Dimas membuatku kembali pada hari di mana saat Arkan memutuskanku di kantin, saat aku dan dia sedang makan bakso. Saat Arkan berkata, "Na, ayo kita putus."

Aku awalnya hanya menyuap bakso dan akan mengangguk saja seolah kata-kata Arkan hanya angin lalu. Namun, melihat Arkan yang terlihat menahan boker, aku lalu mengerjap pelan dan bertanya. "Kenapa?" maksudku, adalah tentang wajahnya. Bisa saja dia ingin buang air kecil atau apa. Aku kan kasihan.

Namun, Arkan malah menengang dan memilin jarinya yang berada di atas meja. "Gue jadiin lo bahan taruhan, Na. Kalo gue bisa macarin lo, gue dapet hadiah. Dan sekarang, gue bosen pacaran sama lo. Jenuh gue sama cewek yang gampang di taklukin kayak lo."

Aku mengerjapkan mataku dengan heran. "Yaudah, gue mau-mau aja kok putus. Tapi, yang tadi gue tanyain bukan alasan. Gue nanyain tentang kenapa muka lo kayak nahan boker gitu?"

Dan lagi-lagi, Arkan menegang mendengar ucapanku. Dia yang kini mengerjap seperti orang bodoh, lalu berdiri. "Oh, oke," katanya, lalu berlari ke arah teman-temannya. Dan aku melihat teman-temannya memaksa Arkan tentang suatu hal berkali-kali, dan walaupun awalnya menolak, Arkan ternyata pasrah dan memberikan ponsel pada teman-temannya. Dan saat mereka tertawa terbahak memenuhi seisi kantin sambil menepuk bahu Arkan, aku tahu jika Arkan merekam sesi putus kami barusan. Aku hanya mendengus dan kembali memakan baksoku.

Begitulah singkatnya. Dan desas desus itu akhirnya menjadi sebuah tragedi yang mengejutkan bagi teman-temanku. Sampai sekarang, aku selalu di sindir karena hal tersebut.

"Gausah out of topic deh, Dim," kesalku sambil menjitaknya. "Kita lagi ngobrolin El, dan kalian malah ingetin gue sama Arkan."

Dimas hanya tertawa mendengar ucapanku.

Aku menyembunyikan seluruh wajahku di lipatan tangan, lalu menghela napas panjang.

Jujur, entah mengapa topik mengenai Arkan sangat membuatku malu sekaligus takut. Malu karena telah khilaf berpacaran dengan orang itu, dan takut karena aku telah melihat betapa tidak normalnya dia. Bagaimana jika Arkan berniat jahat padaku? Aku tidak bisa bela diri, dan tak ada yang bisa melindungiku. Aku menghela napas dalam.

Masih dengan wajah yang di sembunyikan di lipatan tangan, aku merasakan sebuah elusan lembut di rambutku. Aku kira, itu salah satu temanku yang sedang menguatkanku tentang perjodohan yang dilakukan Nenekku. Namun ternyata, beberapa detik kemudian aku merasakan embusan dekat dengan telingaku. Dan sebuah bisikan berupa, "Gue nggak mau putus. Nggak boleh putus," membuatku mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan El.

Tatapan itu membuat otakku memerintahkan organ jantung di tubuhku untuk berdetak lebih cepat, dan jantungku mengalirkan sebuah kehangatan di sekujur tubuhku. Betapa herannya aku dengan tingkah El. Jika aku tidak putus dengannya, bagaimana dengan dirinya sendiri? Apakah dia tidak memikirkan dirinya sendiri? Mau bagaimana pun, akhirnya aku pasti akan memilih calon jodohku itu.

Usapan El kali ini berpindah ke pipiku. Dia kini tersenyum menenangkan ke arahku. Di saat seperti inilah, aku lupa berada di mana, dan siapa yang melihat keluakuan kami. Namun aku tidak peduli. Mataku fokus pada wajahnya, dan bahkan telingaku hanya mendengar suara yang keluar dari mulutnya.

"Kita bisa nyoba, Na. Kalaupun lo nggak bisa cinta gue, gue bisa bikin lo mulai cinta gue. Dan saat waktu itu tiba, gue bisa perjuangin lo."

Dan aku kini berpikir. Bisakah, aku, untuk sekali saja bergantung pada orang lain selain orangtuaku?

Tanpa sadar, aku mulai menitikan air mata. Air mata tertekan karena kenyataannya, aku masih belum bisa menerima perjodohan yang dilakukan Nenek. Baru saja aku akan menyembunyikan wajahku di lipatan tangan, El dengan cepat berlutut di hadapanku.

Dan dia, menarik kepalaku ke lekukan lehernya, menyembunyikan wajahku di sana. Membuatku tertegun, lalu menangis lebih banyak.

El ..., dia sebaik ini. Bagaimana bisa aku mengkhianatinya?

Kronos [COLD DEVIL #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang