Φ Michaelis Alvin Baik (2)

2K 192 2
                                    

Paginya, aku mendapat kejutan di depan rumahku. Atau lebih tepatnya, di depan pintu utama rumahku. Pasalnya, aku baru saja akan pergi ke sekolah saat visualisasi makhluk yang selama beberapa hari ini mengganggu hariku muncul di depan rumah. El, yang hari ini pakaiannya nampak rapih—karena percayalah, biasanya El menggunakan kemeja dengan bagian bawahnya yang keluar dari celana. Dia, ada di depan rumahku tepat saat aku dan Ayahku akan keluar dari rumah. Kalau Bunda, sih, sudah tau mengenai El. Tapi Ayah? Bagaimana bisa El gede nyali untuk dapat bertemu Ayahku?

Dan parahnya, aku kini berdiri di depannya dengan terpaku. Karena percayalah, rambut El yang sudah di potong itu entah kenapa membuat El sangat berkharisma.

"Pagi Om," sapa El sambil mengangguk sopan dengan senyuman lebar ke Ayahku. Dia bahkan menyalami Ayah dan Bunda, yang mana hal itu aku lakukan saat lebaran saja.

"Pagi," balas Ayah sambil mengangguk sekali. "Kamu ini ..."

"Pacarnya Reana, Om," El berujar santai, membuatku memelototinya sementara dia hanya tersenyum tipis padaku dan kembali menatap Ayahku dengan senyum lebar. "Saya ..., boleh nganter Reana ke sekolah?"

Hening sejenak. Walaupun aku membelakangi Ayah dan Bunda, aku tahu jika saat ini mereka sedang saling lirik, lalu aku dapat merasakan mereka memandangi punggungku dengan tatapan tidak percaya.

"Sejak kapan kamu pacaran sama anak saya?" tanya Ayah, yang membuatku menundukan kepala akibat malu. Jantungku berdegup cepat, dan membuat darahku mendidih di bagian pipi.

Dalam kepalaku yang menunduk, aku merasakan El melirikku sejenak sebelum kembali menatap Ayah. "Sudah lumayan lama, Om."

Dan entah Bundaku memang tidak sengaja atau benar-benar di sengaja, Bunda berbisik dengan suara yang amat keras pada Ayah. "Cowok ini kayaknya nggak bohong, Yah. Waktu Reana sakit sehari, dia bahkan jenguk Reana."

Aku membuang napas dari mulut, lalu mengembungkan pipi dengan kepala yang makin mendunduk dalam.

"Nama kamu siapa?" Ayah kembali bertanya.

"Michael, Om. Michaelis Alvin."

Aku dapat mendengar suara terkesiap Bunda dan Ayahku, bersamaan dengan itu tangan El terangkat entah untuk apa. Aku meliriknya yang ternyata sedang membenarkan rambut. Senyumnya masih tercetak dengan amat sangat ramah, dan lebar.

"Saya boleh, kan, anter Reana ke sekolah?" tanya El dengan matanya yang berbinar.

"Ohh, boleh. Silahkan, silahkan."

"Iya, iya. Bareng aja sama Reana, ya. Mengakrabkan diri. Hehe."

"Iya benar. Kamu panggil saya Ayah, jangan Om."

"Panggilnya Bunda juga, jangan Tante."

Aku mengerjap cepat, lalu mengok ke belakang hanya untuk melihat kedua orangtuaku terlihat senang dan tidak menutupi kebahagiaan mereka sama sekali. Bunda kemudian mendorong bahuku ke arah El. "Tuh, sana. Nanti kamu sama pacarmu telat ke sekolah, lagi."

"Iya, sayang. Kamu pergi aja sama pacarmu." tambah Ayahku.

Aku melongo menatap keduanya. Secepat itukah mereka menerima El? Dan juga, apaan tadi?! Ayah dan Bunda menyuruh El memanggil mereka sama seperti caraku memanggil mereka?! Alamat udah diakui calon mantu, dong!

"Ayo, Na." ajak El.

Aku kembali menghadapnya sambil cemberut. "Tapi gue bawa motor."

"No," jawab El sambil tertawa. "Lo nggak bawa motor. Motor lo masih di garasi."

"Tapi kan—"

"Na," El memotong dan memandangku dengan sabar. "Lo tau perjanjian kita sebelumnya kan?"

Perjanjian? "Yang mana?"

Dan memangnya, aku pernah berjanji apa pada El? Perasaan, aku dan dia baru saja pacaran beberapa hari dan tidak melakukan perjanjian selain ... PERJANJIAN ITU!

Aku melotot pada El. Dan seolah dia tahu jika aku ingat, wajahnya kembali ceria. Aku membrengut padanya. "Tapi pulangnya gimana?"

El menggeram. "Ada gue."

"Emangnya rumah lo dimana? Apa nggak bolak-balik kalo anter jemput gue?"

Sekali lagi, El menggeram, kemudian menatap jam yang berada di tangannya. "Lima belas menit lagi bel sekolah bunyi."

Aku mendesis, lalu berjalan melewati El.

"Eh! Mau kemana?!"

Seruan itu membuatku menoleh, dan menatap El dengan sebal. "Katanya bel sekolah Lima belas menit lagi bunyi!"

El menghela napas sabar, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Lo nggak akan salim sama ortu lo?"

Aku terdiam sejenak, menatap El yang masih setia berdiri di depan pintu rumahku dengan teguh pendirian. Aku menghela napas, berjalan kembali pada orangtuaku, lalu menyalimi tangan mereka satu persatu, disusul El yang kembali mencium punggung tangan kedua orangtuaku.

"Ayo," ajak El sambil mengambil tasku dan memeganginya. Sebelum aku protes, El sudah tersenyum dan mengamit tanganku untuk mengikuti langkahnya. "Lo nyalamin guru tiap masuk sekolah, tapi nyalamin orangtua jarang banget. Bukannya, kita harus lebih menghormati orangtua daripada guru?"

Dalam perjalanan ke mobil, aku kembali terpikirkan oleh ucapan Arkan kemarin.

El baik. Aku mempercayai itu. Michaelis Alvin baik. Setidaknya, padaku dia memang orang sebaik ini.

Instagram: nrshf.mara.s
Blogger: nurshifasf.blogspot.com
Yt channel: sf ling

Kronos [COLD DEVIL #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang