Aku selalu merasa, jika aku dilahirkan dengan sebuah keberuntungan dan sifat baik. Maksudku, disaat semua sudah kehilangan ciuman pertamanya saat remaja, aku bahkan belum pernah berpelukan dengan laki-laki lain. Aku bukan penganut bukan muhrim. Namun hanya saja, ada perasaan dimana hatiku mengatakan dia asing. Dan aku sangat tidak suka di sentuh orang asing. Bahkan awal-awal, aku sangat tidak nyaman di rangkul oleh temanku sendiri. Aku harus mempercayai orang terlebih dahulu, baru aku akan membiarkan orang itu di sekitarku.
Dan saat ini, entah mengapa aku ingin sekali memeluk laki-laki di depanku. Mengusap punggungnya dan mengatakan jika dia baik-baik saja. Namun nyatanya, aku hanya berdiam diri dengan kaki lemas. Membiarkan El berdiri dengan mata penuh keheranan saat mendengar ucapanku. Entah mengapa, dunia sepertinya memang menyiapkan momen ini dengan pas karena koridor saat ini sangat sepi. Hanya beberapa orang yang duduk dan tidak terlalu memperhatikan kami.
Aku menelan ludah saat El masih tetap memberikan tatapan herannya, seolah dia sedang kehilangan arah. "El, gue udah dijodohin." ucapku sekali lagi.
Aku orang yang sangat jarang berharap. Namun entah mengapa, harapanku saat ini adalah harapan yang buruk. Aku menginginkan El memakiku, atau bahkan pergi tanpa kata padaku. Aku ingin dia marah. Namun sekali lagi. Nyatanya, El malah mengangguk dan berkata. "Gue denger. Terus?"
Aku jadi geregetan sendiri. Aku tahu ada yang aneh dengan diriku semenjak El menengokku kemarin. Ada getaran dan desiran saat dia bersamaku. Dan entah mengapa, ada rasa takut dan nyaman disaat yang bersamaan. Aku menelan ludah. "Kita putus aja."
El mengerutkan alisnya tidak suka. "Kenapa harus putus?" tanyanya sebal.
Aku mendelik sebal. Mungkin, dipikiranku akan ada drama atau ftv ala-ala. Namun tidak. Aku malah kesal pada El. "Ya masa gue mau tunangan, udah di jodohin, tapi gue ternyata punya pacar? Mana ada yang kayak gitu?"
"Siapa yang nyuruh lo tunangan?"
Aku memelototinya. "Kan gue di jodohin! Nggak mungkin, kan, nggak tunangan dan akhirnya nikah?"
"Trus gue gimana?" tanyanya, lagi-lagi, kerutan heran itu kembali. "Apa gue harus ngomong sama orangtua lo buat gagalin perjodohan itu?"
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Lo diem aja. Jangan ngapa-ngapain."
"Hah?"
Aku berdecak sebal. "Lo tau hubungan kita kayak gimana. Dan kalo pun lo dateng ke rumah gue buat gagalin perjodohan itu, apa yang kita dapet, coba? Kita sama-sama tau, kalo hubungan ini tanpa cinta. Bahkan tanpa rasa suka atau sayang. Gue nggak mau ngorbanin orang lain buat kebebasan gue sendiri."
El mengerutkan alisnya tidak suka. Dan sekarang, matanya bahkan memelototiku. "Trus gimana? Gue nggak mau putus."
"Lo nanya gue? Ya gue nggak tau juga harus ngapain."
Lagi. Wajah tersesat itu ditunjukkan El kepadaku. "Gue nggak mau putus." ucapnya.
"El-"
"Nggak ada kata putus. Titik!"
Aku menghela napas panjang. Tanganku menggaruk tengkuk, lalu keningku sendiri. Aku pun merasa bingung dengan situasi ini. Jika aku tidak memutuskan El, sama saja aku seperti berbuat jahat pada El. Dan jika aku putus dengan El, akan ada kemungkinan El membeberkan rahasia Selen. Aku tak mau itu terjadi. Aku tidak mau Selen terkena masalah. Decakan sebal keluar dari mulutku. "Trus gimana?"
El menggelengkan kepalanya. "Nggak putus. Nggak boleh putus."
Aku menghela napas panjang. "El, kalo kita masih pacaran, jujur, gue ngerasa kayak jahat sama lo," ucapku, membuat El menatapku dengan lekat. Aku balik menatapnya dengan serius. "Lo orang baik. Dan selama gue jadi pacar lo, lo jadi pacar yang amat sangat baik," aku melanjutkan, dan entah mengapa, El menatapku tanpa berkedip sedikitpun. Aku menelan ludah. "Gue nggak mau lo jadi korban dalam masalah gue. Kita bahkan baru saling mengenal dalam waktu singkat. Dan kalo gue masih pacaran sama lo disaat gue udah di jodohin, gue jadi orang asing yang jahat banget. Apalagi, kalo Nenek gue tau kalo gue pacaran. Lo bisa di interogasi sama dia. Trus kaya drama. Dikasih duit, trus di suruh pergi dari gue. Nenek emang korban drama."
El kali ini mendengus sebal. "Kalo itu terjadi, gue bakal nerima uang Nenek lo dengan suka ria, trus gue belanjain sepatu, jaket, sama jam tangan," katanya, kemudian berbalik dan berlalu meninggalkanku.
"El!"
"Nggak putus! Nggak boleh putus!"
Aku menatap punggungnya yang menjauh dengan kesal. "Hih!"
Jadi gimana?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
Random[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...