12 Φ Dewa Berhati Iblis

2.3K 200 2
                                    

"Ditutup?"

"Heem."

"Beneran ditutup?"

"Iya, Reana."

Aku mendesis kesal lalu menutup kedua mataku dengan tangan kanan. El tadi habis memeriksa gerbang sekolah, dan mendapati jika di sana banyak murid yang terkunci di luar gerbang. Sedangkan kami sedang berada di belakang sekolah agar tidak terlihat oleh penjaga piket. Hari ini ada ulangan, dan sumpah demi apapun, untuk pertama kalinya, kemarin aku belajar. Dan lagi, jika nanti aku ulangan susulan, aku tidak yakin jika aku akan belajar lagi.

Memikirkannya, aku mendesis kesal dan mengacak poniku. Akan percuma jika aku masuk ke sekolah sekarang.

"Trus kita gimana, dong?" tanyaku kesal saat El malah duduk di atas kap mobil dengan santai.

El malah mengedikan bahunya dengan tak acuh. "Ya gak gimana-gimana."

"Chael!"

"Apa?"

"Hari ini kita ada ulangan!" seruku kesal.

"Ya bagus dong? Berarti kita nggak perlu ulangan."

"Masalahnya, gue kemarin belajar!"

"Gue tau."

"Hah?" tanyaku heran. Dari mana dia tahu aku kemarin malam belajar? "Lo tau gue kemarin belajar?"

Sejenak, aku melihat tubuh El menegang sebelum dia mengerutkan alisnya. "Gue tau hari ini ulangan, bukan gue tau kemaren malem lo belajar."

Aku memandangnya curiga. Jelas-jelas, El tahu jika aku kemarin belajar. Dan, dari mana juga dia tahu jika aku belajar saat malam hari? Bisa saja, aku belajar saat sore atau siang hari, kan?

"Jadi gimana?" suara El membuatku yang akan membahas hal tersebut, melupakannya sejenak karena hal ini lebih penting.

Ya, bagaimana aku bisa masuk? Bagaimana caranya untuk bisa ulangan? Sialan! Aku benar-benar merutuki diriku yang benar-benar pemalas. Aku menghela napas panjang.

El tiba-tiba berjalan ke samping gedung sekolah, lalu kembali lagi dan membawa sekitar 4 batu bata di tangannya. Dia kemudian menumpuk batu bata tersebut masing-masing 2 buah. Di letakan di tanah, dekat dengan tembok penghubung ke dalam sekolah. Dia lalu kembali dan mengambil tasku dan tas dia sendiri untuk di lemparkan ke dalam sekolah.

"Mau ngapain?"

El tidak menjawab pertanyaanku, dan malah menarik tanganku agar mendekat ke tembok. Dia kemudian menatapku. "Denger—"

"Gue dengerin."

El memutar bola matanya dengan gerakan jengah. Dia kemudian menatapku kembali. "Gue bakal jongkok pake batu ini," tunjuknya pada batu bata. "Gue pengertian. Lo pendek, jadi gue butuh sesuatu yang tinggi buat naikin lo lewat tembok."

Aku menggigit bibir, lalu meneliti tembok yang tingginya mungkin sekitaran pohon di rumahku. Sangat-sangat tidak mungkin jika aku berani turun ke tanah.

"Lo tenang aja," ucap El kemudian. "Gue bakal duluan turun. Dan sebelum gue naik, lo tunggu di atas tembok ini. Ya?"

Jantungku kini berdegup cepat. Tanganku yang berada di genggaman El juga terasa dingin. Aku menarik napas dan membuangnya beberapa kali sebelum kembali melirik tembok, dan menatap El dengan ragu. Namun, saat kepala El mengangguk untuk meyakiniku, aku ikut mengangguk.

"Oke," ucap El, lalu berjongkok di bantu oleh batu bata itu yang membuatnya menjadi agak tinggi. Aku menarik napas lagi, lalu perlahan akan menaikan kakiku di antara bahunya.

Kronos [COLD DEVIL #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang