Entah apa yang dipikirkan El saat ini. Sungguh, aku tidak menyalahkan El atas tindakannya yang memukuli Arkan dengan membabi buta. Aku menyalahkan diriku sendiri, yang menyebabkan El harus memukuli Arkan dalam keadaannya yang masih sakit. Dia harusnya terbaring di UKS, dan aku menjenguknya. Bukannya malah bertengkar gara-gara Arkan hampir memukulku kemarinnya.
Ini sudah hari yang ..., entah ke berapa.
Semenjak kejadian saat aku melihatnya memukuli Arkan dan El pergi saat tahu aku ada di sana, El benar-benar tidak menghubungiku dan mencoba menjauhiku dengan caranya. Terakhir kali kita bertemu adalah saat El mengantarku pulang, dan dia tak terlihat lagi. Walaupun kami jarang ber-chat dan bertelfonan, setidaknya akan ada 3 percakapan yang tetap akan hadir saat kami berjauhan. Pesan yang isinya berupa Udah makan? Udah tidur? Pulang jam berapa tadi? sekarang tidak ada lagi. Aku sering bertanya-tanya dalam hati tentang apa penyebab El menjauhiku seperti saat ini. Kalau dia marah padaku, seharusnya dia memakiku, bukannya menjauhiku dengan caranya. Hingga aku benar-benar tidak menemukan celah untuk bertanya padanya.
Di sekolah, jika dia tidak bersama teman-temannya, dia pasti bersama beberapa perempuan yang keganjenan duduk dengan El. Walaupun El membalasnya dengan acuh, tetap saja mereka membuatku jengah karena aku tidak dapat bertemu El.
"Serius, Na?" Bella bersuara, membuatku sadar jika saat ini aku sedang melamun di kamarku dengan mereka yang berada di sini dengan pizza di tangannya masing-masing. "Lo nyuruh kita kesini cuma buat nemenin lo ngelamun?"
"Sorry," aku berucap sambil memeluk bantalku. Wajahku yang cemberut bertumpu pada ujung bantal. "Gue masih feeling guilty gara-gara El."
"Dia masih ngejauh?" tanya Siska.
Aku menganggukkan kepala dengan wajah cemberut. "Gue harus gimana, ya? Masalahnya, gue nggak ada muka buat nyamperin dia. Apalagi, dia kayaknya sengaja banget pengen ngejauh. Gue jadi bingung harus ngapain. Gue mau minta maaf juga susah jadinya."
Siska menggigit potongan pizza di tangannya, lalu menyimpan sisa pizzanya di dalam box pizza. Dia kemudian membenarkan duduknya di kasur agar menghadapku. "Gini, Na," ucapnya sambil menelan pizza yang ada di dalam mulutnya. "Apa lo yakin, kalo El jauhin lo gara-gara dia marah?"
Aku menganggukkan kepalaku perlahan. "Yakin. El soalnya berantem gara-gara gue, di saat dia lagi sakit gara-gara gue juga."
"Gini-gini," ucap Siska lagi dengan gerakan tangan. "Kalo semisal, El jauhin lo karena di malu, sekaligus takut kalo lo liat gimana sisi gelap dia, gimana?"
Aku mengerutkan alisku heran. "Kenapa dia harus takut?"
"Gimana kalo alasannya karena dia suka lo?"
Aku terdiam sejenak. Saling bertatapan dengan Siska, berkedip cepat, lalu tertawa kencang. Aku bahkan harus memegangi perutku akibat terlalu banyak tertawa. "Ya nggak mungkin, lah!" seruku dengan bahu bergetar akibat tertawa. "Lo tau sendiri cara gue sama dia pacaran itu kayak gimana."
Bella menggetok kepalaku, membuatku meringis. "Cowok itu bisa jatuh cinta beberapa detik, tau."
Aku mendelik malas. "Itu mengada-ada. Dia nggak punya pendirian kalo beneran kayak gitu."
Bella menggelengkan kepala, Siska menghela napas panjang.
"Lagian, emangnya kenapa El harus takut kalo gue ngeliat sisi gelapnya?" tanyaku sambil mendengus geli.
"Ya dia takut kehilangan lo," Bella menjawab cepat sambil memutar bola matanya dengan sebal. "Dia takut, kalo lo bakal takut sama dia setelah ngeliat keburukannya.
"El itu baik," ucapku cepat. "Gue percaya sama dia."
"Lo lebih percaya El daripada kita?"
"Apa ini semacam pertanyaan lebih pilih pacar atau sahabat?"
Bella mendelik, Siska tertawa. "Dia itu Dewa berhati Iblis, jangan lupa." ucap Bella.
Aku mendengus. "Waktu itu Arkan bilang El monster, sekarang kalian bilang El dewa berhati iblis. Nggak ada yang bisa liat El sebagaimana gue ngeliat dia, apa?"
"Karna lo diperlakukan beda sama El," Bella menjawab cepat, dan sinis. "Gue iri karna El baik banget sama lo."
Aku mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi melihat wajah sinis Bella. "Makanya, baik-baik sama El. Jangan bilang kalo dia itu monster, atau dewa berhati iblis. El ya El. Bukan monster atau dewa berhati iblis. Semua hal itu timbal balik, kawan. Kalau kalian perlakuin El baik, El juga bakal baik sama kalian."
"Ya, ya, terserah. Dasar naif!"
Aku hanya mengedik santai.
"Dulu sih, Na, gue nggak setuju banget lo pacaran sama El," Siska berkata. "Gue udah liat gimana yang udah-udah, dan gue nggak mau liat lo jadi korban walaupun sebenernya gue pengen juga sih, di korbanin," lanjutnya sambil nyengir, aku mendelik malas. "Tapi sekarang, ngeliat betapa bedanya El memperlakukan lo, bikin gue setuju-setuju aja lo pacaran sama El. Bahkan, gue dukung sepenuh hati! Tapi, kali-kali, kalo kumpul bawa El, ya!"
Aku mendelik sebal. Ujung-ujungnya, pasti begitu.
"Btw," Bella kembali bersuara sambil mengambil potongan pizza lainnya. "Hari ini ada acara apaan, sih? Kok kayaknya ribut banget di dapur."
"Ohh itu?" tanyaku, membuat Bella mengangguk. "Ada kumpul keluarga sama keluarga kakek-kakek yang dijodohin ama gue."
"WHAT?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
Random[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...