Ini bukan hari libur, namun aku masih tiduran di atas kasur. Kenapa? Karena aku sedang terserang demam. Karena siapa? Karena Nenekku yang menyebalkannya minta ampun!
Ya, setelah aku menerima perjodohan itu, aku jadi menyesal sendiri. Benar-benar menyesal hingga menangis semalaman dan menyebabkan aku demam pagi ini. Masa, aku dijodohkan dengan kakek-kakek, sih? Tega, kan, dia? Dasar Nenek sihir!
Aku mendengus, lalu terbatuk pelan. Bersamaan dengan itu, pintuku di ketuk sebanyak 3 kali, lalu terbuka dan masuklah Bunda yang membawa nampan dengan segelas air beserta obat, juga bubur. Aku duduk perlahan di atas kasur dengan bantal yang aku senderkan di punggung. Suara decakan keluar dari mulutku, bersamaan dengan disimpannya nampan tersebut di laci kecil sebelah kasurku. "Na nggak mau minum obat!" seruku manja.
Bunda menatapku galak. "Harus! Lo pan lagi sakit."
"Bun, obat nggak selamanya menyembuhkan!"
"Halah, bilang aja kalo lo takut minum obat."
"Enggak!" walaupun sebenarnya iya. Aku takut minum obat. Obat itu pahit, dan aku tidak suka yang pahit-pahit. Aku memang penyuka kopi, namun kopi yang kusukai tidak pahit sama sekali. "Bun, obat itu mengandung zat kimia yang bisa jadi malah bikin rasa sakit yang harusnya gak ada, malah tiba-tiba muncul."
"Halah alesan."
Memang alasan, kan? Lalu apalagi? Penjelasan? "Reana serius!" ujarku cemberut. "Na nggak se-sakit itu buat konsumsi obat-obatan. Aku cuma demam!"
Bunda hanya berdiri tegap dan bersidekap di depan dada. "Lo sekali aja nurut sama orangtua, napa? Di suruh dandan nggak mau, di suruh-"
"Apa hubungannya makan obat sama dandan?!" pekikku kesal. Benar-benar tidak ingin kalah. Dasar orangtua. Aku menghela napas kesal. "Oke, aku bakal minum obat. Tapi, kalo sakitnya malah tambah parah, aku nyalahin Bunda. Mau?"
Bunda kali ini terdiam, seolah berpikir. Aku hampir saja menggunjingkan senyum lebar saat mata Bunda melirik ke arah obat yang berada di atas nampan, kemudian menatapku. Suara dengusan kesal lalu terdengar dari Bunda. Tangannya kemudian meraih obat di atas nampan, lalu keluar dari kamarku dengan suara pintu yang di banting kencang.
Aku tertawa kencang sambil bertepuk tangan, menyelamati diri sendiri. "Yes!" seruku senang.
***
Aku sedang membaca novel koleksiku saat ponsel yang kusimpan di sampingku berdering. Aku menoleh ke arah ponselku, lalu meraihnya dan membuka aplikasi chat di ponsel. Ada satu pesan, dan untuk pertama kalinya, orang itu mengirimiku pesan. Kami bahkan baru beberapa hari pacaran. Jadi, wajar kan jika baru sekarang dia mengirimiku pesan? Ya kan?
Michaelis Alvin: Hey
Belum aku membalasnya, satu pesan lain muncul di sana.
Michaelis Alvin: Sakit?
Tanganku kemudian bergerak untuk membalaskan pesannya.
Reana Siera: Iya
Michaelis Alvin: Udah makan?
Michaelis Alvin: Udah minum obat?Aku sempat terdiam bingung saat ingin menjawab pertanyaan dari El. Entah mengapa, kalimat penuh perhatian itu sempat membuatku sedikit bertanya-tanya tentang hubungan kami. Ya, kami berpacaran. Namun jelas-jelas, jika El memacariku dengan sebuah alasan dan penyebab. Walaupun sampai sekarang, aku sendiri belum tahu apa penyebab laki-laki itu ingin memacariku. Apakah khilaf? Atau bagaimana? Masalahnya, jika dia memperhatikanku seperti ini, kami seperti benar-benar pacaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
De Todo[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...