4 Φ Perdebatan

2.9K 239 0
                                    

Sampai di kantin, aku dan Michael benar-benar duduk di pojokan. Dimana disana terdapat sekat, dan terlihat seperti ruang sendiri yang berada di tengah keramaian. Tempat yang biasanya ramai dengan anak-anak perempuan ngehits semacam Selen, kini hanya terisi oleh aku dan Michael, sedangkan yang lainnya berada jauh di antara kami. Namun, dapat kulihat sahabatku, Siska, sedang makan berdua dengan KM menyebalkan di kelasku. Mata mereka menatapku dan Michael dengan tajam, penuh penasaran.

Sesaat, aku menatap mereka dengan rasa tidak nyaman. 2 orang yang kutatap itu akhirnya mengalihkan pandangan pada orang di sampingku, lalu menundukan kepala serentak.

Akhirnya, aku menghela napas lega. Aku membenarkan dudukku, dengan tubuhku yang menghadap sepenuhnya pada laki-laki di sebelahku kini. "Michael ..."

"Just El."

Mataku mengerjap cepat, menatap heran pada Michael yang terlihat biasa saja. "Hah? El?"

Kepalanya mengangguk pelan. "Call me El."

Mataku kembali mengerjap. "El? Chael?" tanyaku, dan dihadiahi oleh tatapan mata tak berkedip darinya. Ah, ya. Seperti namaku yang belibet, nama Michael juga belibet. Memang tulisan namanya adalah Michael. Namun, jika di baca bukan Maykel, Misael atau Mikael. Michael benar-benar di panggil Michael. Mi-ca-el.

"Ya ..." Michael berucap pelan dan lembut, menyadarkanku dari lamunan. Matanya masih menatapku tanpa berkedip, menyelidik.

Aku menghela napas panjang. "So-"

"Sebentar. Gue pesen makanan dulu," potong El, membuat ucapanku terhenti. Aku memelototinya, sedangkan El malah mengangkat tangannya ke atas. "Heh, lo!" teriaknya kencang.

Aku menatap aneh padanya, lalu menatap orang yang sekiranya dipanggil oleh El. Ternyata, Selen sepupuku yang dia panggil. Aku kembali menatap El, heran akan kelakuannya.

"Iya, elo! Mantan gue." ujar El kemudian.

Mataku mengedip pelan, sedangkan alisku bertautan menatapnya. Selen adalah mantan El? Jadi ..., kemungkinan besar, yang menjadi pemicu dia menjadikanku pacar adalah untuk membuat cemburu Selen. Atau bahkan, itu adalah strateginya agar kembali kepada Selen. Kini, tatapanku menajam padanya. Orang yang kutatap malah memanggil Selen dengan semangat. Sudah kuduga. Pengakuannya tentang status kami memang benar-benar ada maksud tertentu. Iblis! Dasar menyebalkan.

"A-ada apa?"

Mataku mengerjap pelan, lalu memelototi Selen yang sudah berada bersama kami. Apa-apaan itu? Suara lemah dan terdengar ketakutan itu ..., menggangguku.

"Pesenin gue dan cewek gue makanan."

Pelototanku berpindah pada El, kemudian pada sekitar kantin. Perasaan aku saja, atau mereka memang menatap kami sambil berbisik-bisik? Atau tepatnya, apa mereka menatap Selen sinis kemudian berbisik.

"O-oke."

Aku mengerjap, kemudian menatap Selen yang berbalik dan melangkah menjauh setelah mendapatkan uang dari Michael. Aku kemudian menatap Michael dan memelotoinya. "Lo ...!" ucapku tak percaya saat Michael malah tersenyum geli menatapku. "Jadi ini, maksud lo macarin gue?"

Michael mengangkat sebelah alisnya.

Mulutku terbuka setengah, tidak percaya dengan kelakuan pengecutnya. "Gue tau ada yang nggak beres sama otak lo. Jadi ini? Lo tau darimana gue sepupunya Selen?" tanyaku tidak jelas.

Michael malah mendengus geli, lalu menjawil hidungku, membuatku memelototinya lagi karena memegangku sembarangan. "Terserah apapun yang ada di otak lo tentang gue," ucap El santai. "Yang pasti, lo cewek gue sekarang."

Mataku semakin melotot menatapnya. "Gue nggak pernah setuju sama lo! Gue juga nggak pernah di-pdkt-in lo. Pacaran kita ini nggak sah, tau, nggak? Nggak ada komunikasi sebelumnya, tapi tau-tau lo memutuskan kalo kita pacaran. Secara sepihak!"

El membuka mulutnya setengah. Matanya menatapku tidak percaya. Dan yang dilakukannya selanjutnya adalah menggelengkan kepala seolah prihatin dengan kelakuanku yang tidak keruan. "Lo nggak mau pacaran sama gue?"

"Yaiyalah!" jawabku cepat. "Lo ini baru kenal gue beberapa jam yang lalu. Beberapa jam yang lalu, Chael!" ujarku menggebu-gebu. "Dan lagi, lo tau darimana kalo Selen sepupu gue, hah? Yang tau dia sepupuan sama gue cuma dua orang di sana," tunjukku pada Siska dan Si KM menyebalkan. "Sama gue dan Selen pribadi dan pacar, dan beberapa mantannya Selen."

"Serius?" El malah bertanya dengan alisnya yang terangkat sebelah. "Gue taunya waktu itu. Dan dari lo sendiri," ucapnya, dengan senyum di akhir.

Aku sempat terpana sejenak. Mataku bahkan tak berkedip saat melihat senyum Michael. Pahatan yang sempurna. Dia terlihat seperti Dewa Yunani dengan wajahnya. Seseorang yang memang bisa dikatakan tampan. Aku baru menyadarinya. Dia memiliki wajah yang sempurna. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, matanya yang agak sipit dengan alis tebal yang tertutupi oleh poninya yang berantakan menutup kening. Aku menelan ludah, lalu membuang napas perlahan saat merasakan degupan itu datang dengan cepat seolah jantungku akan meledak.

Eh, tapi ...

"KAPAN?" pekikku setelah sadar. "Kapan gue pernah bilang?" tanyaku dengan mata yang memelototinya.

El hanya terkekeh pelan. "Waktu itu. Di kafe."

Aku mengerutkan alis. "Kapan? Kapan gue pernah ke kafe bareng lo?"

"Lo lupa lagi," ucapnya lirih. Entah aku salah menebak atau memang benar, El menatapku dengan tatapan sendu yang penuh harapan. Dia kemudian membuang napasnya, lalu menatap ke depan dan sebuah senyum bertengger di wajahnya. "Padahal, gue yakin banget kalo kejadian itu bisa aja bertahan lama," lanjutnya aneh, kemudian kembali menatapku yang mengerutkan alis karena keheranan. "Tapi kali ini, gue pastiin lo nggak bakalan lupa," El kembali berkata, kemudian tertawa. Dan tanpa dapat kuprediksi, tangannya terulur ke arah keningku. Ia menyentuh keningku tepat di antara alisku. "Gausah terlalu di pikirin. Dan gausah terlalu banyak mengernyit gitu. Ntar membekas."

Dengan sadar, aku menelan ludahku dan memalingkan wajah. Dan dengan sadar juga, pipiku terasa memanas sehingga aku berdeham lalu tersenyum lebar untuk menyembunyikan rona merah yang mungkin saja terlihat saat ini.

Dan kekehan El terdengar merdu di telingaku saat aku melakukannya. "Jadi, kita resmi pacaran, nih, ya?" tanyanya.

Kepalaku langsung tertoleh kearahnya. "Gue nggak pernah setuju!"

Michael menghela napas. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan buat gue ngancem lo, Na."

Aku mengerutkan alis, kemudian mengangkat alisku sebelah. "Apa?"

Michael tersenyum kembali. Senyumnya ganjil, dan terkesan dibuat-buat. "Gue akan bersikap manis kalo lo ngelakuin hal yang sama ke gue."

Aku berdecak, kemudian menatapnya sebal. "Apaan, sih! Lo mau ngencem gue pake ap-" aku menghentikan ucapanku saat tau kemana arah pembicaraan ini berakhir. Mataku melotot, menatapnya galak dengan mulutku yang menganga tidak menyangka. "Lo mau nyebarin kalo gue sama Selen sepupuan?"

El tersenyum lebar. "Lo tau jalan pikiran gue, ternyata."

Aku menatapnya tidak percaya. "Lo nggak bisa ngelakuin itu!"

El mendengus geli. "Tentu gue bisa. Apalagi, gue termasuk cowok populer disini."

Dan aku adalah cewek biasa-biasa.

Aku mengedarkan pandangan, dan mataku menangkap beberapa pasang mata yang memandang kami-atau lebih tepatnya Michael dengan tatapan kagum. Dan saat mereka berpandangan denganku, mata mereka berubah tajam dengan binar tidak suka.

Aku menggigit bibir bawahku saat sebuah kesadaran menghantamku.

Michael adalah orang yang berpengaruh meskipun dia anak baru.

"Jadi gimana, Reana?"

Aku menelan ludahku dengan susah payah.

Kronos [COLD DEVIL #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang