Seperti yang dikatakan El, aku ikut ulangan. Dan saat mengerjakannya pun—walaupun beberapa kali tidak fokus karena khawatir dengan keadaan El—aku berhasil menjawabnya. Aku memutar pensil di tanganku, berpikir apakah aku harus keluar kelas dan menemui El di UKS, atau makan bersama teman-temanku yang saat ini sedang membereskan alat tulis?
Dan jawabannya, aku tunda dulu saat Siska dan Bella duduk di depanku.
"El mana?" tanya Bella, yang sukses membuatku menghela napas panjang.
"UKS."
"Kok bisa?"
Aku mengedikan bahu, menghela napas panjang, lalu membenturkan dahiku ke permukaan meja dengan suaraku yang dibuat seperti menangis. "Karna gue ..."
Siska dan Bella memaksaku bercerita, membuatku mau tak mau menceritakan kejadian tadi pada mereka berdua dengan suara yang lirih dan tersiksa. Aku menceritakan semua detailnya, bahkan saat El yang menjemputku di rumah, dan bertemu kedua orangtuaku. Aku mengakhiri ceritaku dengan menghela napas panjang. "... Gitu."
"Lo terlalu berat." komentar Siska.
"Lo gendut."
"Lo harusnya nggak loncat ke El!"
"Iya, padahal lo aja yang harusnya di UKS."
"Bener, tuh."
"Gue jadi nggak bisa liat pangeran kelas, kan!"
Aku cemberut mendengar ucapan mereka. "Kejam, nyebelin, rese!"
Dan mereka malah tertawa.
"Tapi Na," ucap Bella sambil bersidekap di meja dan menatapku dengan mata memincing. "Gue baru denger dia bisa begitu."
"Err ..., maksudnya?"
"Gue juga kaget sebenernya," Siska menambahkan. "Selama satu semester El sekolah di sini, dia nggak pernah gituin pacarnya. El itu terkesan cuek, dan menjauhi pacarnya. Semua cewek yang pacaran sama El, ya ngerasa punya status pacaran, tapi nggak punya pacar. Makanya, Selen gedeg sama sikap El dan mutusin dia di depan kantin. Lo tau sendiri gimana tabiat sepupu lo yang nggak suka di rendahin."
Aku membuang napas jengah. "Semua orang bisa berubah, bahkan dalam waktu singkat."
"Tapi dia bukan orang, Na," ujar Bella yang diangguki Siska. Aku mengerutkan alis. Bella dan Siska kemudian mendekatkan wajahnya padaku. "Dia Dewa berhati Iblis!"
Aku memutar bola mata jengah. "Gue kirain dia beneran bukan orang," ucapku kesal. "Kalo dia dewa berhati iblis dan seburuk yang kalian bilang, kenapa kalian masih suka?"
"Ya namanya juga dewa," jawab Bella sambil memundurkan wajahnya dan bersidekap dada. "Mana ada dewa yang nggak dipuja?"
Aku mengembungkan pipi. "Gue harus gimana, ya? Ke UKS jangan?"
"Ngapain?" tanya Siska heran.
Aku menggeram kesal. "Ya liat El, lah!"
"Yaudah sana. Ngapain masih disini?"
"Bener," bela Bella. "Lo yang celakain dia. Ya lo harus tanggung jawab."
Aku mengerucutkan bibir dengan kesal. "Yaudah," jawabku kemudian, lalu berdiri dan pergi dari kelas, mengabaikan temanku yang berteriak minta ikut. Mereka pikir, ini kunjungan piknik, apa? Minta ikut segala.
Dan untuk informasi, semenjak berita aku berpacaran dengan El, banyak sekali perempuan yang menatapku dengan dengki jika aku sedang sendiri. Kalau aku berjalan dengan El, mereka malah menatap kami—atau El, lebih tepatnya—dengan tatapan terpesona. Saat mengetahui hal itu, aku merasa tidak enak dan ingin mencolok mata mereka satu persatu. Apalagi, kebanyakan adalah kaum hawa. Atau, memang semuanya kaum hawa?
UKS sudah ada berada di belokan dan beberapa langkah lagi aku akan sampai di sana. Namun, sesuatu mencuri perhatianku saat beberapa anak laki-laki berlarian kesana dan meneriakan jika ada yang berkelahi. Dan sejauh mataku memandang, memang di belokan sana terlihat ramai oleh beberapa murid. Atau, memang yang kulihat hanya beberapa murid saja?
Perasaan tidak enak mengguliti jantungku. Aku menatap ke arah sana dengan tatapan tertarik, namun juga tegang. El disana. El tadi kesana. Dan, bagaimana jika El yang bertengkar? El kan sedang sakit. Bagaimana jika dia makin sakit? Apa mungkin yang berkelahi hukan El? Lalu siapa?
Sebelumnya, aku tidak pernah tertarik dengan acara Pencari Perhatian seperti ini. Namun, dengan betapa banyaknya pertanyaan di dalam kepalaku, aku berlari ke kerumunan di sana, dan hanya dapat melihat punggung-punggung yang sedang mengerumuni sesuatu—atau seseorang. Aku mencoba menerobosnya, sembari melindungi dadaku dan bergerak menyamping. Beberapa orang berdecak dan bahkan ada yang mengungkapkan ucapan tidak terima. Aku mengabaikan dan terus mencoba menerobos.
Sampai akhirnya aku dapat melihat pertarungan, aku terpekik sejenak dan menutup mulutku yang menganga dengan kedua tangan, sedangkan kakiku mundur perlahan dengan lemas. Arkan, kepala lelaki itu tepat berada di depan sepatuku. Dan di atasnya, tepat di hadapanku ada El yang menindih tubuhnya dengan tinjuan yang memukul keras wajah Arkan.
"Berani. Beraninya. Lo. Nyoba. Mukul. Reana," ucap El di sela tinjuannya yang mengenai wajah Arkan dengan keras.
Arkan tertawa layaknya masokis, dan aku tertegun di tempat dengan jantung yang mendadak terasa ngilu. Itu ..., tadi namaku di sebut. Dan barusan, El membawa-bawa tentang Arkan yang datang ke rumah kemarin. El tahu. Dan entah dari siapa. Apa Arkan yang mengatakannya langsung?
"Bukan gue yang ngasih tau," Arkan masih tertawa saat El merenggut kerah seragamnya. "Dia tau sendiri. Dan menurut lo, gimana caranya dia tau ..." lanjutnya dengan jeda, lalu menatapku, membuatku menarik napas kaget karenanya. "... Reana?"
Entah apa maksud Arkan bertanya. Apa dia memang meminta pendapatku, atau menginginkan El menatapku dengan tatapan kaget seperti sekarang ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronos [COLD DEVIL #3]
Random[Cold Devil Series] "Jadi, nama lo Reana? Hai, salam kenal. Gue Michael, pacar lo mulai hari ini." A-apa?! Dia bilang apa?! PACAR?! Suara "gubrak!" seolah menggema dikepalaku. Tadinya, kupikir aku salah dengar saat anak baru itu tiba-tiba mengucapka...