• TPM|26 •

9.5K 454 27
                                    

Davren yang baru saja selesai mengadakan meeting bergegas kembali keruangannya karena disana adik bungsunya masih menunggu dirinya.

Davren membuka pintu dan melihat Dea yang tertidur pulas di sofa yang ada di dalam. Davren tersenyum seraya membuka jasnya dan menjadikannya selimut.

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Davren membuka kancing kemeja bagian atasnya lalu duduk di kursi kebesarannya karena enggan mengganggu tidur adik tersayangnya itu.

Davren melirik handphonenya yang bergetar diatas meja. Dia melihat nama yang tertera di atas layar handphonenya.

Kavanya.

Tangannya menyentuh tombol merah merijeck panggilan itu karena sedang malas berbicara dengan Kavanya. Sekali lagi handphonenya kembali bergetar dan dengan terpaksa ia mengangkatnya.

"Hallo? Davren, apa bisa kita bertemu?" suara Kavanya terdengar dari telfon.

"Untuk apa?" tanya Davren datar.

"Ada yang ingin aku bicarakan dengan dirimu. Aku mohon ini sangat penting." jawab Kavanya lirih.

Davren memijat pangkal hidungnya pelan. "Hari ini aku tidak bisa, tapi jika besok akan aku usahakan." ucap Davren.

"Baiklah. Besok di cafe biasa kita bertemu berdua." sahut Kavanya antusias.

"Ya!" Davren memutuskan panggilannya, menaruh handphonenya kembali ke atas meja.

Dea mengoletkan tubuhnya kedua matanya terbuka sempurna lalu iapun tersenyum manis. "Sudah selesai meetingnya kak? Maaf aku ketiduran." ucap Dea dengan suara khas bangun tidur.

"Sudah." sahut Davren berdiri dari kursinya, berpindah duduk menjadi di sebelah Dea. "Kenapa bangun Hm?"

"Aku mendengar suaramu yang sedang bicara dengan seseorang. Kau bicara dengan siapa?"

"Kavanya,"

Dea mendengus. "Untuk apalagi dia menelfonmu? Apa untuk mengemis cintamu lagi? Heh dasar murahan."

"Ssshh!" Davren menyentil bibir adiknya pelan. "Aku tidak suka kau bicara kasar."

Dea memanyunkan bibirnya. "Memang kenyataanya seperti itu. Dia selalu mengejar dirimu. Aku sebagai wanita tentu saja malu!"

"Sudah!" Davren berdiri berjalan kearah meja untuk mengambil handphone dan tas kerjanya. "Ayo kita pulang ke rumah Daddy."

"Kerumah Daddy?"

Davren mengangguk. "Kakak harus bertemu dengan Daddy. Ada yang harus kakak bicarakan disana,"

"Apa?"

"Anak kecil tidak boleh tahu," Davren berjalan keluar dari ruangan.

"Kakak," pekik Dea meraih jas Davren kasar. "Dasar menyebalkan."

Dari luar terdengar kekehan kencang. Dea keluar dan langsung melemparkan jas kearah Davren.

"Dasar tidak sopan," gerutu Davren mengambil jasnya lalu masuk ke dalam lift. "Ayo cepat anak kecil,"

"Stop calling me little kid." Dea menggeram kesal.

Davren merangkul pundak Dea lalu mencium puncak kepalanya. "All right, my spoiled little brother."

Dea menyikut perut Davren pelan. "Aku tidak manja tahu, jangan memanggilku kecil ataupun manja kak."

"Ya baiklah," Mereka berduapun keluar dari lift berjalan beriringan menuju mobil yang sudah ada di loby.

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang