Daevon terduduk dalam diam di balkon kamarnya. Perkataan Davren sore tadi sungguh mengganggu pikirannya, jujur saja dia merasakan sesuatu menghantam tepat pada hatinya. Rasanya begitu sakit dan sesak pastinya.
Kau di lahirkan untuk menjadi anak yang berguna. Bukan untuk menjadi manusia tidak berguna seperti ini. Kau di didik dan di besarkan dengan norma yang baik. Apa semua tidak cukup? Apa sebenarnya tujuan hidupmu? Kau tahu, bahkan hidupmu tidak ada artinya di dunia. Henyahlah jika kau terus menyusahkan Mommy dan Daddy. Bahkan jika aku boleh memilih, aku lebih memilih tidak memiliki kembaran sepertimu.
Daevon hendak meneguk minumannya yang dia bawa ke kamar namun tiba-tiba saja ada tangan seseorang yang menarik botolnya membuat dia mengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang sudah menarik botolnya itu. Davren, pria itu yang sudah menarik botol miliknya.
Davren ikut duduk di sebelah Daevon. Pandangannya lurus kedepan merasakan betapa sejuknya angin pada malam hari. Sedangkan botol berisikan alkohol ditaruh tepat samping kanannya.
Hening! Tidak ada yang bersuara. Keduanya hanya diam dengan pandangan yang terfokuskan ke depan. Mereka berdua memilih untuk bungkam.
Davren menghela nafas kasar, dia melirik Daevon melalui ekor matanya. "Maaf atas perkataanku tadi sore, sungguh semua diluar dugaanku. Semua yang aku katakan tidak aku sadari...." jeda Davren menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Aku tidak dapat mengontrol emosiku saat melihatmu kembali mabuk." sambung Davren.
Daevon tetap bungkam, bahkan dia sama sekali enggan melihat atau sekedar melirik Davren yang ada tepat di sampingnya.
"Dae, katakan sesuatu. Aku mengakui perkataanku salah tadi sore. Aku menyesal telah berkata seperti itu. Tapi Daevon, kau bahkan tidak tahu betapa sakitnya aku saat tersadar akan perkataanku sendiri. Perkataanku yang menyakiti perasaanmu dan Mommy."
"Apa yang harus aku katakan?" tanya Daevon tanpa melihat Davren. "Kau tidak perlu menyesali perbuatanmu.... Kak,"
Davren terdiam kedua matanya mengerjap beberapa kali saat mendengar kata terakhir Daevon. Apakah dia sedang berhalusinasi karena merindukan panggilan itu dari kembarannya sendiri. Bahkan semenjak kejadian itu hanya Dea yang memanggilnya kakak.
"Daevon.... Ka-kau----"
Daevon memutar tubuhnya menghadap Davren. "Davren, kau benar hidupku tidak ada gunanya. Aku hanya bisa menyusahkan Mommy dan Daddy. Hidupku hanya di penuhi oleh minuman. A-aku sudah kecanduan, Avren."
"Daevon----"
"Bagaimana mungkin aku bisa membenci dirimu? Kejadian dulu murni kecerobahanku. Maaf karena sudah membenci dirimu tanpa alasan yang jelas." potong Daevon lirih.
Davren berdiri dari duduknya sesungguhnya dia tidak tahu harus melakukan apa. Perubahan Daevon begitu mendadak. Dan tidak mungkin bukan jika seseorang yang membenci sampai bertahun-tahun akan cepat berubah apalagi hanya dalam hitungan jam?
"Kau mabuk, istirahatlah!" ucap Davren hendak pergi namun pergelangan tangannya di cekal.
"Avren, Evon tidak mabuk." sahut Daevon serak.
Davren diam tidak bergeming. Avren dan Evon dulu adalah panggilan masa kecilnya. Apa yang harus dia lakukan percaya bahwa Daevon sudah berubah atau justru tidak mempercayainya.
"Kita bicara lagi besok!" balas Davren menghentakkan tangan Daevon. "Istirahatlah, selamat malam." setelahnya Davren keluar dari kamar Daevon.
Daevon hanya diam menatap pintu yang tertutup. Dia tertawa hambar mengetawai dirinya sendiri yang dengan bodohnya membenci Davren. Dan kalaupun saat ini Davren tidak mempercayai perubahannya itu bukanlah kesalahan pria itu. Tapi salahkan dirinya yang baru menyadari kebodohannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]
عاطفية• DON'T COPY PASTE • My Stories REAL My Imagination!!!! .. Menjadi penerus di perusahaan Axel X Company bukanlah hal yang mudah terlebih satu persatu musuh dari sang Daddy bermunculan ingin membalaskan dendam. Davren, pria yang murah senyum menjadi...