• TPM|25 •

9.4K 476 35
                                    

Davren berdiri didepan jendela kantor dengan segelas minuman di tangannya. Hidup tanpa keluarga disaat dirinya masih kecil sudah pernah dia rasakan dan rasanya sangat menyedihkan, apakah dirinya tega melakukan hal yang sama dengan anak Jackson yang baru saja lahir.

Davren menghela nafas kasar membuang rasa sesak yang kembali menghampiri. Tidak dia tidak akan melakukan hal setega itu, tapi semua sudah ada prosedurnya korupsi adalah hal yang dilarang. Lalu sekarang dirinya harus melakukan apa agar bayi itu tidak merasakan hal yang sama.

Ingatan-ingatan tentang kejadian dimasalalu kembali berputar mengingatkannya kepada hal yang begitu menyakitkan. Diejek tidak memiliki orang tua saat dirinya menginjak bangku sekolah dasar membuat hatinya hancur.

Hahahaha Davren tidak mempunyai Ayah dan Ibu.

Davren tidak mempunyai Ayah dan Ibu hahahaha. Kasihan tidak punya Ayah dan Ibu.

Tangannya terkepal membuat gelas yang ada pada genggamannya retak hingga membuat tangannya berdarah. Rahangnya begitu mengeras hingga terlihat jelas urat pada bagian lehernya.

"Demi Tuhan. Apa yang kau lakukan kak?" teriak Dea terkejut melihat darah yang menetes dari tangan Davren.

Davren membuka matanya tersadar dari rasa sakit masalalunya. Ia melihat kearah gelas yang sudah dilumuri oleh darah.

Dea berlari panik mengambil kotak obat yang ada pada laci meja Davren. Dia merebut gelasnya dan menarik Davren kesofa.

"Ayo duduk, biar aku obati lukamu kak!" suara Dea terdengar gemetar. "Jangan terus melukai dirimu sendiri kak,"

Davren terdiam masih enggan untuk berbicara. Nafasnya masih memburu hingga dadanya naik turun, bahkan degupan jantungnya begitu kencang.

"Apapun masalahmu, aku mohon jangan lukai lagi dirimu!" Dea meniup lengan Davren.

Dea memperban telapak tangan Davren. Setelah selesai dirinya kembali menaruh kotak kecil itu di dalam laci. Lalu kembali duduk di sebelah Davren.

"Kakak?" panggil Dea memegang pundak Davren.

Davren tersadar menatap Dea bingung. "Kenapa kau ada disini? Sejak kapan?" tanya Davren melihat telapak tangannya. "Kenapa tanganku diperban?"

Dea menatap Davren lirih. "Apa yang ada pikiranmu kak? Kenapa aku datang saja kau tidak menyadarinya?"

"Maafkan aku Little. Hari ini pekerjaanku sangat banyak!"

"Jangan membohongiku kak, sebanyak apapun pekerjaanmu tidak mungkin kau hanya berdiri di jendela sambil melukai tanganmu,"

Davren tersenyum kecil. "Jadi Little, ada apa kau datang menemui kakakmu ini, Hm?" tanya Davren mengalihkan pembicaraan.

"Satu minggu lagi persidangan Daddy dan Mommy." jawab Dea lirih.

Davren terdiam. Dia melupakan masalah perpisahan kedua orang tuanya. Bahkan dirinya saja belum tahu pasti penyebab Axel dan Valya memilih bercerai.

"Apa aku akan seperti Clara kak? Dia hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya yang berpisah." lanjut Dea memeluk Davren dari samping.

"Tidak sayang, kamu tidak sendirian! Ada kakak, dan ada Daevon. Kamu masih memiliki kami berdua," Davren memeluk adiknya erat.

"Aku takut kak, Clara mengalami gangguan kejiwaan karena terlalu sering di bully. Lalu dia----"

"Ssstt!" Davren menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan di ingat, semua yang terjadi kepada Clara sudah menjadi Takdirnya."

Dea semakin menangis tubuhnya bergetar hebat. Davren tahu saat ini bayang-bayang sahabatnya Dea, Clara saat bunuh diri membuat Dea kembali terbayang pada masa itu. Masa dimana Clara mengakhiri hidupnya karena tidak tahan akan bullyan yang diterima olehnya. Belum lagi gadis cantik itu mengalami broken home membuat dirinya semakin tidak mampu hidup sendiri tanpa seorang kakak ataupun adik, karena Clara terlahir sebagai anak sulung.

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang