• TPM|21 •

10.6K 510 34
                                    

• Happy Reading 💕 •

"Dulu kau bicara apa kepada, Daevon. Hingga dia membenci, Davren. Seperti sekarang?!" tanya Valya yang duduk di pinggir kasur.

"Bicara apa?!" tanya Axel kembali.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Xel. Apa kau tidak dengar tadi, Daevon. Mengatakan apa? Kebenciannya kepada, Davren. Itu semua karena perkataanmu dulu!" jawab Valya berdiri menghampiri, Axel. Yang duduk di kursi dekat jendela.

Axel menghela nafas kasar, Valya. Tidak akan diam sebelum dirinya menjawab apa yang ingin di ketahui oleh istrinya itu.

"Axel----"

"Ya, kebencian yang ada pada diri, Daevon. Memang karena perkataanku dulu." sela Axel cepat. "Tapi aku tidak tahu, jika perkataanku dulu akan berimbas hingga saat ini,"

"Apa yang kau ucapkan dulu, kenapa aku tidak tahu?"

"Entahlah aku lupa mengatakan apa dulu,"

"Kau tahu?!" Valya duduk di samping Axel. "Sebagai ibu aku merasakan sakit, karena salah satu putraku membenci saudaranya."

Axel melihat keluar jendela, ia tahu, Valya. Pasti menangis karena terdengar dari suara istrinya yang bergetar.

"Entah apa yang pernah aku atau kau lakulan dulu, sampai-sampai keluarga kita selalu di uji seperti ini." Valya meraih tangan Axel yang bertumpu pada sofa. "Aku ingin ada kedamaian pada keluarga kita, aku ingin kedua putraku kembali baik-baik saja, tidak seperti ini."

Axel memejamkan matanya, ia dapat merasakan remasan di tangannya saat, Valya meremasnya dengan kencang. Bahkan, Axel. Juga merasakan tangannya basah.

"Hatiku sakit melihat mereka bertengkar, aku merasa gagal sebagai ibu karena tidak bisa mendidik kedua putraku agar menjadi baik." lanjut Valya. "Aku tidak pantas menjadi ibu mereka, sungguh hatiku sakit melihat mereka berdua seperti itu,"

Axel menghembuskan nafas kasar, kepalanya menoleh dan langsung memeluk tubuh istrinya yang bergetar karena menangis. Ia menciumi kepala istrinya dengan penuh cinta, walau sejujurnya dia sedang menahan air matanya agar tidak ikut meneteskan air mata. Cukup lama, Valya. Berada di dalam pelukan Axel, wanita tiga anak itu masih saja menangis terisak.

Sementara itu di dalam kamarnya, Vebby. Sedang bersiap untuk pergi dari rumah dan kembali ke tempat, Tata. Pintu kamar terbuka membuat, Vebby. Menolehkan kepalanya kearah pintu.

"Mau kemana?!" tanya Davren melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku mau pergi!" jawab Vebby tersenyum, ia menyisir rambutnya yang tergerai indah.

"Siapa yang mengizinkan?!" tanya Davren kembali.

Vebby menghentikan kegiatannya. "Tidak ada, tapi aku harus kembali ke Tata, Dav." jawab Vebby.

"Harus berapa kali aku katakan kepada kamu, kalau kamu tidak boleh pergi dari rumah ini," ucap Davren datar.

"Aku juga memiliki urusan, Dav. Aku tahu dan mengerti akan kekhawatirkanmu. Tapi tolong percaya padaku kalau aku akan baik-baik saja." sahut Vebby menatap Davren.

"Mengerti? Kalau kamu mengerti, kenapa tidak mau menuruti keinginan aku?" balas Davren.

"Aku mengerti, tapi aku harus kuliah!" timpal Vebby.

Davren menghela nafas kasar tanpa sekatapun dirinya pergi meninggalkan kamar, Vebby. Ia menutup pintu kasar.

Vebby menghela nafas pelan, pilihannya sudah bulat dirinya akan tetap pergi meninggalkan rumah, Davren. Ia hanya tidak ingin terus berada disini dan merepotkan banyak orang. Dia meraih tasnya dan segera meninggalkan kamar.

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang