Part 6 - Surat Sang Putri

223 17 1
                                    

Tembok kerajaan yang kokoh bukanlah penghalang bagi Putri Campa untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Raganya betul dikelilingi tembok, namun ilmu dan persahabatannya melintasi samudera.

Setiap malam diserapnya berbagai kitab pengetahuan. Supaya apa yang ia pelajari di madrasah tetap melekat di ingatan. Bahkan jika ada pembaharuan ilmu, ia ikuti perkembangannya. Koleksinya lengkap. Kitab Alquran, Hadits, juga kisah sejarah nabi dan sahabat-sahabatnya ia hafal di luar kepala. Merasa kurang, ia lahap habis kitab dari ilmuwan muslim.

Sebut saja Al-Jabr wa al Muqabilah - Al Khawarizmi, al-Tasrif mengenai ilmu kedokteran dari bapak bedah dunia - Abu Al Qasim Al Zahrawi, ilmu fisika, juga ilmu geografi. Duplikat peta dunia yang dibuat oleh Al Idrisi pada tahun 1154 pun ia miliki.

Informasi tersebut selain ia peroleh dari buku yang ia beli, juga dari sahabat-sahabat muslimahnya di seluruh penjuru dunia. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi ialah bahasa yang pula digunakan dalam Alquran. Yaitu bahasa arab.

Seperti malam ini, di kursi dan meja menulis andalannya, Putri Campa sedang membaca surat dari Chayaa, muslimah yang tinggal di kerajaan seberang. Jauh dari Nusantara.

“Assalamu’alaikum wr.wb

Sahabatku yang aku sayangi, bahagia hatiku bisa berkabar denganmu, Sang Permaisuri Raja.

Sebagaimana yang kau ketahui, aku pun berada di dalam lingkungan kerajaan. Namun, desas desus yang beredar disini sangat membuatku tak nyaman. Aku tahu, engkau bukanlah pribadi yang menyukai ghibah, tapi izinkan kali ini saja aku menumpahkan isi hatiku.” Begitulah awal surat yang ditulis Chaaya.

Putri Campa menghela nafas, sesungguhnya hari itu ia lelah sekali, kepalanya terasa berat. Hari ini jadwal mengajarnya begitu padat dan ia belum sempat beristirahat. Namun, awal surat Chayaa membuatnya ingin melanjutkan membaca.

Putri Campa berpindah posisi dari meja menulis, ke kursi panjang yang indah dengan ukiran pada kayu jatinya. Ia pun bersandar di sisi kursi yang berbantal lembut sembari menjulurkan kedua kakinya. Kursinya tidak cukup panjang sehingga ia mengangkat kakinya hingga bertelekan pada sisi kursi satunya. Merasa nyaman, Sang Putri pun melanjutkan kembali menikmati surat Chayaa.

“Aku harap surat ini menjadi pengingat bagi dirimu. Untuk selalu setia dan taat kepada suami. Tidak seperti disini. Para permaisuri tak lagi menaati suami, bahkan mereka membiarkan lelaki lain memasuki kamar mereka. Juga menanamkan benih di rahim mereka. Dan anak haram itulah yang menjadi Putra Mahkota.

Disini suasana begitu penuh kebencian, dendam dan haus akan kekuasaan. Bukan hal yang mengherankan, karena tak ada bibit cinta dalam keluarga kerajaan. Suami yang kurang mencurahkan kasih sayangnya, jauh dari nilai agama dalam bertindak dan membuat keputusan. Serta istri yang tak taat pada suami. Hanya kemegahan dunia orientasi mereka.

Seandainya mereka menjalankan dan menaati syariat islam, pastilah kondisi disini akan aman, teratur dan sejahtera.”

Putri Campa kembali menghela nafas sambil secara spontan mengubah posisi kakinya, yang ia pun tak sadar, bahwa gaun kimono tidurnya terbuka menampakkan betis hingga sedikit di atas lutut. Lengan kimononya yang lebar pun terbuka hingga atas siku ketika ia memegang surat.

Dalam posisi seperti itulah, Pangeran Ario Damar mendadak memasuki ruangan Putri Campa. Pangeran menahan nafas, Putri pun kaget.

“APA yang kau lakukan disini???!” seru Putri Campa sembari menghambur ke dalam kamar dan mengenakan kerudung serta jubah hitam. Ia sangat marah.

“Mengapa kau memasuki kediamanku tanpa izin?” seru Putri Campa menahan amarah.

“Saya perlu penjelasan dari Anda. tentang surat-surat Anda” Jawab Pangeran menahan gejolak di hatinya.

“Surat-surat apa? apa urusannya denganmu?” tanya Putri Campa masih terkejut.

“Surat-surat yang Anda kirim ke seluruh penjuru dunia. Itu dapat membahayakan keamanan Kerajaan!” tegas Pangeran Ario Damar.

“Kau.. kau membaca surat-suratku?” Kemarahan Sang Putri memuncak hingga ubun-ubun. Ia pun menghela nafas dan beristighfar.

Laa taghdob walakal jannah

Jangan marah, bagimu surga

Hadits Riwayat At Thabrani tersebut menggaung di kepalanya. Menyadarkan ia harus tetap tenang.

“Aku akan melaporkan kepada Prabu, bahwa kau memasuki kamarku tanpa izin!” kata Putri Campa sembari berderap keluar.

Surat-suratnya dibaca, ia memang marah. Tapi ada satu hal penting yang jangan sampai ia lupakan dalam kondisi marahnya. Yaitu.. bahwa ada lelaki memasuki kamarnya. Ia harus ingat, dan jangan sampai berlama-lama seperti itu, walau mereka bertarung sekalipun. Karena hal tersebut dapat menimbulkan fitnah. Apalagi, dinding kerajaan ini bagai memiliki mata dan telinga.

Ia sungguh penasaran dengan maksud Pangeran menyebutkan bahwa suratnya membahayakan keamanan Kerajaan?

Namun, ia bisa meminta penjelasan nanti di kediaman Sang Prabu, bersama Sang Prabu. Suaminya.

Sang Putri berjalan cepat diiringi para dayang dan pengawal wanitanya yang ketakutan. Mereka tak pernah melihat Sang Putri semarah ini, dan mereka menyesal membiarkan seseorang lolos memasuki kediaman Putri tanpa izin. Malam itu Langkah Pangeran Ario Damar begitu cepat, dan kuat. Seperti sergapan tiba-tiba ia sudah berada di ruangan Sang Putri.

Sang Putri tiba-tiba berbelok berlainan arah dengan kediaman Sang Prabu. Ia ingat,malam ini giliran suaminya mengunjungi Permaisuri Wulandari, istri ke-2 nya. Sang Putri ingat tentu saja, karena ia selalu menghitung kapan gilirannya tiba, untuk memberikan penyambutan terbaik bagi suaminya. Salah satunya dengan memasakkan makanan terlezat dari kedua tangannya sendiri.

“Beritakan bahwa Kanjeng Permaisuri Campa ingin berbicara dengan Kanjeng Prabu.” kata dayang Kinasih kepada pengawal kediaman Permaisuri Wulan.

Permaisuri Wulan tersinggung. Malam ini adalah gilirannya bersama Prabu, namun istri muda Sang Prabu tersebut malah kesini menemui suaminya?

“Izinkan Putri Campa masuk. Biarlah ia berbincang dengan Sang Prabu di ruang tamuku.” Kata Permaisuri Wulan. Malam ini adalah hak-nya, dan ia merasa berhak mendengar pembicaraan antara Sang Prabu dan Putri Campa.

“Saya juga, ada yang perlu Saya bicarakan saat ini juga dengan Prabu. Izinkan saya masuk. Ini terkait keamanan Kerajaan!” Suara Pangeran Ario Damar terdengar berwibawa dan penuh otoritas.

Mereka berempat duduk dengan tegang di ruang tamu Permaisuri Wulan. Sang Prabu menyembunyikan rasa tidak sukanya, melihat Putri Campa datang dengan… Ario Damar?

***

bersambung ke Part 7 - Keputusan

***

Hmmm.. kiranya apa yang mereka bicarakan pada malam itu?

Dan mengapa malam-malam setelah malam itu, Prabu tak lagi mengunjungi kediaman Putri Campa pada jadwal gilirannya?

Ikuti terus kisahnya.

Like dan boleh share 😊.

Komentar yang membangun sangat ditunggu.

Terimakasiih

PRINCESS CAMPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang